BANDA ACEH — Muzakarah Ulama Aceh 2025 secara resmi merekomendasikan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan bencana hidrometeorologi berupa banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai Darurat Bencana Nasional. Penetapan tersebut dinilai krusial guna mempercepat penanganan korban, pemulihan infrastruktur, serta membuka akses bantuan kemanusiaan nasional dan internasional secara terkoordinasi.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali—yang akrab disapa Abu Sibreh—menyampaikan bahwa rekomendasi tersebut merupakan salah satu keputusan penting dalam Muzakarah Ulama Aceh 2025. Selain isu kebencanaan, forum itu juga menekankan penguatan peran masjid sebagai pusat pemersatu umat di tengah musibah.
“Muzakarah Ulama Aceh menghasilkan sejumlah rekomendasi penting, di antaranya penetapan bencana nasional serta penguatan fungsi masjid sebagai simpul persatuan dan solidaritas umat,” kata Abu Sibreh dalam keterangan tertulis, Senin (15/12/2025).
Muzakarah tersebut turut dirangkai dengan pembacaan samadiah dan doa bersama untuk para korban banjir dan longsor. Kegiatan spiritual itu dipusatkan di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, sebagai bentuk ikhtiar batin dan kepedulian sosial.
Para ulama menilai skala dan dampak bencana yang meluas lintas provinsi telah melampaui kemampuan penanganan pemerintah daerah. Oleh karena itu, keterlibatan penuh pemerintah pusat dipandang sebagai langkah yang realistis dan mendesak.
Selain mendesak penetapan status darurat nasional, ulama Aceh juga meminta Gubernur Aceh Muzakir Manaf bersama para bupati dan wali kota se-Aceh untuk menyusun peta jalan pembangunan pascabencana. Peta jalan tersebut diharapkan terintegrasi dan berorientasi pada mitigasi bencana, pemulihan lingkungan, penguatan ekonomi masyarakat, serta perlindungan lembaga pendidikan dan rumah ibadah.
Ulama juga merekomendasikan penyesuaian dan revisi anggaran daerah agar lebih responsif terhadap kebutuhan penanganan banjir dan longsor. Pemerintah pusat diminta memberikan dukungan anggaran yang memadai serta merancang langkah strategis jangka pendek dan jangka panjang secara objektif dan proporsional sesuai tingkat kedaruratan.
Dalam rekomendasi lainnya, MPU Aceh menekankan pentingnya transparansi dan amanah dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan. Penegakan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan yang berkontribusi pada terjadinya bencana juga dinilai tidak boleh diabaikan.
Masyarakat Aceh diimbau untuk memperkuat solidaritas sosial, menjaga etika bermedia dan bersosial di tengah musibah, serta menghindari penyebaran fitnah dan provokasi yang dapat memperkeruh situasi.
Sebagai bagian dari ikhtiar spiritual, para ulama mengajak seluruh masyarakat untuk menghidupkan masjid—baik di wilayah terdampak maupun tidak terdampak—melalui doa bersama, ibadah, serta kegiatan sosial-keagamaan guna memperkuat ketahanan spiritual dan sosial masyarakat Aceh.
Abu Sibreh menegaskan, rekomendasi ini lahir dari aspirasi berbagai tokoh masyarakat, termasuk kalangan intelektual dan non-politik, yang berharap ulama dapat bersatu menyuarakan kepentingan rakyat dalam menghadapi bencana besar.
“Penyerahan penanganan kepada Pemerintah Pusat bukan berarti putus asa atau berhenti bekerja. Ini adalah pengakuan bahwa dalam kondisi tertentu, bencana yang begitu besar tidak mampu ditangani sendiri oleh daerah dan membutuhkan kehadiran negara secara penuh,” ujar Abu Sibreh.*
















