PURWAKARTA – Publik dikejutkan dengan beredarnya video seorang anak angkat pejabat KDM yang mengenakan seragam resmi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) saat melakukan “inspeksi” demi kebutuhan konten hiburan. Aksi ini memicu kritik keras karena dianggap merendahkan simbol kewibawaan Satpol-PP sebagai aparat penegak peraturan daerah.
Pengamat kebijakan publik, Agus M. Yasin, menilai tindakan tersebut bukan sekadar lelucon, melainkan bentuk krisis etika di kalangan pejabat publik.
“Satpol-PP bukan sekadar aparat penertiban, tetapi simbol kewibawaan dalam menegakkan Peraturan Daerah. Seragamnya memiliki nilai simbolis dan legalitas yang tidak bisa diperlakukan seperti pakaian biasa,” ujarnya kepada wartawan, Senin (29/9/2025).
Menurut Agus, pembiaran pejabat terhadap pemakaian seragam Satpol-PP oleh pihak non-aparat menunjukkan ketidakpekaan terhadap kepantasan publik.
“Logikanya, saat atribut ini dijadikan properti hiburan, martabat institusi ikut direndahkan. Perlakuan ini bahkan terkesan mengeksploitasi anak. Itu mencerminkan krisis etika dalam birokrasi dan merusak kewibawaan daerah,” tegasnya.
Lebih jauh Agus mengingatkan, penggunaan atribut dinas Satpol-PP diatur secara ketat dalam PP No. 6 Tahun 2010 tentang Satpol-PP serta Permendagri No. 40 Tahun 2011 tentang pakaian dinas Satpol-PP. Seragam resmi hanya boleh dikenakan oleh personel berwenang, bukan pihak luar.
“Menjadikan pakaian dinas sebagai mainan anak atau bahan konten merupakan tindakan yang tidak sesuai hukum maupun etika pemerintahan,” katanya.
Agus menegaskan, pejabat yang membiarkan atribut negara dipakai untuk konten hiburan berpotensi melanggar kode etik jabatan dan disiplin ASN.
“Anak atau pihak non-aparat yang mengenakan seragam dapat dianggap melecehkan simbol kedinasan. Ini bukan persoalan sepele, melainkan pengkerdilan institusi. Yang dipertaruhkan bukan sekadar pakaian, tetapi juga wibawa pemerintah dan penghormatan publik terhadap penegak Perda,” ucapnya.
Ia pun mendesak pemerintah untuk bersikap tegas. “Publik menunggu keberanian pemerintah untuk bertindak, bukan sekadar memberi alasan. Jika simbol negara bisa dipermainkan, maka yang runtuh bukan hanya seragam, tetapi juga martabat birokrasi,” pungkas Agus.*(AsBud)