WASHINGTON — Raksasa teknologi Microsoft resmi menghentikan akses sejumlah layanan cloud dan kecerdasan buatan (AI) untuk militer Israel. Langkah ini diambil setelah terungkapnya dugaan penggunaan layanan Microsoft untuk program pengawasan massal terhadap jutaan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.
Keputusan ini diumumkan pada Kamis (25/9) setelah hasil investigasi gabungan The Guardian, +972 Magazine, dan Local Call membongkar praktik Unit 8200—satuan siber elite militer Israel—yang memanfaatkan platform Microsoft Azure untuk menyimpan dan menganalisis jutaan panggilan telepon warga Palestina setiap hari.
Sikap Tegas Microsoft
Wakil Ketua dan Presiden Microsoft Brad Smith dalam email internal yang diperoleh The Guardian menegaskan bahwa perusahaan tidak akan mendukung praktik pengawasan massal terhadap warga sipil di negara mana pun.
“Kami tidak menyediakan teknologi untuk memfasilitasi pengawasan massal terhadap warga sipil. Prinsip ini kami terapkan di setiap negara di dunia selama lebih dari dua dekade,” tulis Smith.
Smith menyebut Microsoft telah memberi tahu Kementerian Pertahanan Israel (IMOD) soal keputusan menghentikan dan menonaktifkan sejumlah langganan layanan, termasuk cloud storage dan layanan AI tertentu.
Skandal “Sejuta Panggilan per Jam”
Investigasi mengungkap Unit 8200 sejak 2022 membangun sistem penyadapan berskala masif dengan dukungan Azure. Sistem itu memungkinkan intelijen Israel merekam, memutar ulang, dan menganalisis isi percakapan jutaan orang sekaligus—hingga muncul semboyan internal “Sejuta panggilan per jam.”
Data hasil penyadapan disebut mencapai 8.000 terabyte. Awalnya disimpan di pusat data Microsoft di Belanda, data tersebut dipindahkan secara cepat ke platform Amazon Web Services (AWS) setelah laporan investigasi terbit. Sumber intelijen menyebut data itu tak hanya digunakan untuk operasi keamanan di Tepi Barat, tetapi juga untuk menentukan target serangan udara di Gaza.
Klaim Ketidaktahuan Microsoft
Sebelum keputusan ini, Microsoft berulang kali menyatakan tidak mengetahui pemanfaatan Azure oleh militer Israel karena alasan privasi pelanggan. Namun, investigasi mengungkap adanya pertemuan pada 2021 antara CEO Microsoft Satya Nadella dengan Yossi Sariel, komandan Unit 8200 kala itu. Pertemuan inilah yang disebut menjadi titik awal proyek pemindahan data intelijen Israel ke Azure.
Jurnalis Meron Rapoport, salah satu penulis investigasi, menyebut, “Sejak awal, kesepakatan itu adalah antara kepala Unit 8200—unit yang terkenal melakukan pengawasan terhadap warga Palestina—dan pejabat tertinggi Microsoft.”
Dampak Keputusan Microsoft
Mantan pegawai Microsoft Hossam Nasr menilai keputusan ini sebagai “kemenangan bersejarah” meski belum menyeluruh.
“Microsoft hanya menonaktifkan sebagian kecil layanan untuk satu unit militer Israel. Sebagian besar kontrak dengan militer Israel tetap berjalan,” ujarnya kepada AP.
Para analis teknologi juga memprediksi dampaknya terhadap operasi intelijen Israel kemungkinan tidak signifikan. Militer Israel disebut masih bisa menggunakan produk Microsoft lain atau beralih ke penyedia layanan cloud lain seperti AWS. Seorang pejabat Israel yang dikutip AP menegaskan keputusan Microsoft “tidak akan merusak kemampuan operasional” militer.*