JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup (LH) menjatuhkan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah kepada delapan perusahaan yang diduga berkontribusi terhadap terjadinya banjir di sejumlah wilayah Sumatera. Sanksi tersebut berupa larangan sementara melakukan aktivitas usaha serta kewajiban menjalani audit lingkungan.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan sanksi dijatuhkan setelah pihaknya melakukan pemeriksaan dan pengambilan sampel terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru.
“Kepada semuanya telah kami berikan sanksi administrasi paksaan pemerintah untuk menghentikan kegiatan dan dilakukan audit lingkungan,” ujar Hanif saat memberikan keterangan di kantor Kementerian LH, Jakarta, Selasa (23/12/2025).
Delapan perusahaan yang dikenai sanksi tersebut masing-masing PT Agincourt Resources, PT Toba Pulp Lestari, Sarulla Operations Ltd, PT Sumatera Pembangkit Mandiri, PT Teluk Nauli, PT North Sumatera Hydro Energy, PT Multi Sibolga Timber, serta PT Perkebunan Nusantara IV Kebun Batang Toru.
Hanif menjelaskan, setelah sanksi administratif diberlakukan, Kementerian LH akan melanjutkan proses audit lingkungan secara mendalam dengan melibatkan para pakar. Hasil audit tersebut nantinya akan menentukan langkah penegakan hukum selanjutnya.
“Tahapan penegakan hukum ada tiga opsi, mulai dari sanksi administrasi lanjutan, gugatan perdata, hingga penegakan hukum pidana,” kata Hanif.
Ia menegaskan, pendekatan pidana akan ditempuh apabila ditemukan adanya hubungan kausalitas antara aktivitas perusahaan dengan dampak lingkungan yang menimbulkan korban jiwa.
“Pengenaan pidana akan kami ambil apabila kegiatan tersebut terbukti memiliki pengaruh kausalitas yang menyebabkan korban jiwa. Ini akan kami dekati dengan penegakan pidana,” ujarnya.
Hanif juga menekankan bahwa penindakan terhadap delapan perusahaan tersebut bukan akhir dari proses penegakan hukum lingkungan di Sumatera. Saat ini, tim Kementerian LH tengah bergerak ke Sumatera Barat untuk melakukan verifikasi lapangan terhadap sejumlah aktivitas usaha.
“Di Sumatera Barat masih ada kegiatan pabrik semen, pertambangan, perumahan, dan perkebunan sawit yang perlu kami verifikasi,” ucapnya.
Sementara itu, untuk wilayah Aceh yang disebut sebagai daerah dengan dampak bencana paling luas, mencakup area sekitar 4,9 juta hektare, proses audit lingkungan akan dilakukan secara bertahap dan membutuhkan waktu lebih panjang.
Menurut Hanif, kompleksitas wilayah dan skala kerusakan mengharuskan Kementerian LH melibatkan para pakar, dosen, serta guru besar dari berbagai perguruan tinggi guna mempercepat proses audit melalui riset bersama.
“Kami harapkan dalam waktu sekitar tiga bulan audit awal bisa diselesaikan, selanjutnya langkah-langkah penegakan hukum akan kami sesuaikan dengan hasil temuan,” pungkasnya.*
















