JAKARTA – Sebuah papan reklame tiang tunggal raksasa berdiri congkak di Jalan Letjen S. Parman No. 31, tepat di depan bekas Mapolres Jakarta Barat, Slipi, Palmerah. Bertahun-tahun tak tersentuh, bangunan ilegal itu kini menjelma monumen telanjang dari rapuhnya wibawa hukum di ibu kota.
Pelanggaran yang membelitnya bukan perkara sepele. Reklame ini diduga tak memiliki izin resmi dari Dinas Penanaman Modal dan PTSP, tak membayar pajak, melanggar konstruksi sesuai Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2024, hingga berdiri di zona steril yang seharusnya bebas dari tiang tunggal. Dengan kata lain, reklame tersebut melawan aturan dari segala sisi.
Ironisnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memilih diam. Tak ada pembongkaran. Tak ada sanksi. Tak ada ketegasan. Diamnya aparat justru menegaskan ironi klasik: hukum di Jakarta begitu galak kepada rakyat kecil, tapi mendadak jinak di hadapan pemilik modal.
Pengamat kebijakan publik sekaligus akademisi, Awy Eziary, S.H., S.E., M.M., menilai pembiaran ini sebagai bentuk pengkhianatan pemerintah terhadap amanah rakyat.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan ancaman langsung terhadap keselamatan publik. Pemerintah sudah lalai melindungi warganya,” ujar Awy, Selasa (30/9/2025).
Awy bahkan menyebut sikap diam Pemprov DKI sebagai tanda bahaya bagi tata kelola kota. “Tanpa keberanian menegakkan hukum, Jakarta akan berubah menjadi kota liar yang dikendalikan uang dan jaringan gelap. Kalau reklame ini tidak segera dibongkar, aturan hukum tak lebih dari dekorasi belaka,” tegasnya.
Ia juga mendesak investigasi mendalam atas dugaan keterlibatan oknum kuat di balik proyek ilegal ini.
“Jika benar ada backing dari institusi tertentu, ini bukan lagi pelanggaran biasa. Itu pengkhianatan terhadap prinsip negara hukum,” tandasnya.
Desakan publik pun kian keras. Satpol PP, Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, Pertanahan (DCKTRP), hingga Wali Kota Jakarta Barat dituntut bertindak. Penertiban reklame ini bukan soal estetika kota, melainkan soal integritas, keselamatan, dan martabat ibu kota.
Pembiaran seperti ini hanya menegaskan stigma lama. Hukum di Jakarta tajam ke bawah, tumpul ke atas. Bahwa uang dan kekuasaan lebih berkuasa daripada keadilan.
Sebagai etalase Indonesia, Jakarta tak pantas dibiarkan jadi panggung pelanggaran hukum terang-terangan. Kini bola panas ada di tangan Pemprov DKI, beranikah mereka menegakkan hukum secara adil, atau memilih membiarkan hukum runtuh bersama reklame ilegal yang mereka biarkan berdiri?*(ren)
















