Ancaman Kelaparan Mengintai di Tengah Wabah yang Tak Kunjung Usai !

  • Bagikan

Oleh: Herini Ridianah,S.Pd

(Pemerhati Sosial dan Pendidikan)

Tak pernah terbayangkan sebelumnya, dunia global akan menghadapi wabah virus Corona yang tak kunjung usai. Hingga tanggal 3 Juni saja, jumlah kasus terinfeksi Corona yang terdata di dunia mencapai 6,46 juta orang dengan korban meninggal yang terus bertambah setiap harinya (Kompas.com). Di Indonesia sendiri kasus positif Corona mencapai 28.233 kasus (pikiran-rakyat.com, 3/6/2020).

Tak cukup sampai disana, 1 miliar orang di dunia akan terancam kelaparan akibat pandemi Corona. Hal tersebut diungkapkan Eksekutif Direktur World Food Program (WFP), David Beasley. Melansir dari tempo.co, saat ini ada 135 juta orang menghadapi ancaman kelaparan. Proyeksi dari WFP menunjukkan jumlahnya bisa meningkat dua kali lipat menjadi 270 juta orang. Jumlah ini masih bisa bertambah karena ada sekitar 821 juta orang yang kurang makan. Sehingga, total warga dunia yang bisa mengalami bencana kelaparan melebihi 1 miliar orang. Beasley berkata bahwa tidak banyak waktu yang dimiliki, sehingga dia meminta semua negara untuk bertindak cepat juga bijak. Jangan sampai pandemi ini menjadi bencana kemanusiaan juga krisis pangan global.

Di Indonesia, berita tentang warga miskin kelaparan semakin sering terdengar silih berganti di berbagai daerah. Salahsatu penyebabnya adalah karena banyak warga yang kehilangan pekerjaan dan tak berpenghasilan. Menaker, Ibu Ida Fauziyah mengungkapkan sekitar 2 juta pekerja telah dirumahkan dan di-PHK akibat pandemi ini (liputan 6.com). Pengangguran pun sudah meningkat tajam di berbagai negara, termasuk Amerika. Semua negara double digit growth penganggurannya. Kenaikan angka pengangguran ini terjadi akibat turunnya aktivitas industri manufaktur dan jasa di tengah pandemi Covid-19. “Bahkan ada yang memprediksi bisa mencapai 15 sampai 20 persen, ini tingkat pengangguran terbesar kalau dibandingkan dalam sejarah dunia, comparable dengan depresi ekonomi,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita di Jakarta, Jumat, 17 April 2020.(Tempo.co, 2/05/2020)

Jangankan di saat sekarang, sebelum pandemi ini terjadi saja, setidaknya sudah ada 22 juta jiwa rakyat Indonesia yang menderita kelaparan kronis serta rawan pangan yang terjadi di 88 kabupaten/kota seperti disebutkan data ADB dan Kementan (newsdetik.com, 7/11/2019). Bahkan kasus kelaparan yang pernah terjadi di Maluku tengah, Juli 2018 lalu, mereka bertahan hidup dengan makan daun, rotan dan pohon nibong (BBC News Indonesia.com).
Pun dengan keadaan secara global. Setiap hari dalam keadaan normal ada sekitar 21.000 orang yang meninggal karena kelaparan. Setiap hari [meninggal] bukan karena COVID-19, seorang anak meninggal setiap 10 detik karena kurang gizi,” tutur Kepala Ekonom Program Pangan Dunia Arif Husain mengutip VOA.

BACA JUGA :   Pengecualian Kepemilikan SIKM di DKI Jakarta harus Dievaluasi

Kondisi bertambah parah saat terjadi wabah. Kebijakan asimilasi dengan melepas para napi, membuat masyarakat semakin resah. Kriminalitas pun makin beringas akibat rasa lapar dan kesempatan. Tak sedikit pula karena kurang iman, banyak yang stress dan depresi. Tak hanya di Indonesia, krisis multidimensi ini terjadi global. Bahkan kasus bunuh diri dan sakit jiwa meningkat di berbagai negeri.

Stok Pangan Aman?

Di tengah pasokan pangan dunia terguncang covid-19, pemerintah khususnya Kementan menyampaikan optimistis dan tercukupinya pasokan pangan dalam menghadapi pandemi. Presiden Jokowi juga menyampaikan dalam rapat terbatas (28/4), dari stok bahan pangan pokok di seluruh Indonesia, terjadi defisit beberapa komoditas pangan di beberapa provinsi, antara lain beras defisit di 7 provinsi, jagung defisit di 13 provinsi, cabai rawit defisit di 19 provinsi, dan telur ayam defisit di 22 provinsi. (Media Indonesia, 2/5/2020). Kebijakan untuk mengimpor pun masih dilakukan.

Namun demikian, seberapapun stok kesedian pangan itu dikatakan mencukupi versi pemerintah, sepanjang daya beli masyarakat menurun tajam karena tak punya uang, bukan tak mungkin korban kelaparan akibat dampak corona makin banyak. Terkecuali negara menjamin dan memastikan setiap warganya bisa makan setiap harinya.
Bantuan langsung tunai yang baru-baru ini dibagikan pada keluarga miskin sebesar 600.000/bulan pun masih banyak yang tidak tepat sasaran. Akibatnya memicu konflik sosial di masyarakat bawah.

Peduli Pada Sesama

Islam mengajarkan pada setiap muslim untuk menjadi pribadi yang peduli pada sekitar. Sebagaimana hadits Rasululullah SAW: “Tidaklah orang beriman kepadaKu, orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sedang tetangganya kelaparan hingga ke lambungnya. Padahal ia (orang yang lapar) mengetahui.”

Baru saja kita digembleng menahan lapar dan nafsu sebulan lamanya. Apakah puasa kita berhasil menjadikan diri kita sebagai pemenang, tentu saja harus tampak pasca lebaran. Maka, secara individu hendaknya kita menjadi orang yang peka terhadap lingkungan sekitar kita, memastikan tidak ada tetangga kita yang masih kelaparan. Jika kita mampu, maka kepedulian kita pun bisa disalurkan ke warga lain yang jaraknya lebih jauh dan lebih membutuhkan. Mengajak masyarakat yang lainnya untuk ikut peduli juga.

Namun, tentu saja sebagai individu dan masyarakat ada sisi keterbatasan. Tentu yang memiliki peran penting menjamin kebutuhan dasar rakyatnya orang per orang berada di bawah tanggung jawab negara. Mirisnya, bahaya kelaparan mengintai semua negeri tanpa kecuali.

BACA JUGA :   Diduga Terpapar Covid-19, Begini Kisah Pilu Driver Ojol di Surabaya Sebelum Meninggal Dunia

Kapitalisme Global Telah Gagal

Jika ditelaah lebih mendalam, ada kesamaan penyebab mengapa hampir seluruh negeri tak mampu melindungi rakyatnya dari bahaya kelaparan yang mengintai, baik sebelum wabah terlebih ketika wabah. Seluruh negeri saat ini didominasi oleh penerapan sistem kapitalisme sekuler di berbagai sendi kehidupannya. Kapitalisme telah terbukti menghasilkan ketimpangan kaya dan miskin pada level individu hingga bangsa.

apitalisme gagal mengatasi masalah pangan dan kesejahteraan. Ekonomi kapitalisme rapuh karena berdiri di atas sektor non riil dan sistem ribawi yang termasuk dosa besar dalam islam. Akibatnya rentan terjadi krisis ekonomi.
Kelalaian negara membangun ketahanan dan kedaulatan pangan pun disebabkan banyak kepentingan pengusaha yang bermain dari hulu hingga ke hilir, dari produksi hingga distribusi. Akibatnya, rakyat lagi yang menjadi korban. Ekonom senior Rizal Ramli mengatakan, cita-cita mewujudkan kedaulatan pangan sulit terwujud karena kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah sering melakukan impor pangan. “Boro-boro kedaulatan pangan tercapai, yang terjadi justru impor ‘ugal-ugalan’ yang sangat merugikan petani,” kata Rizal (Kompas.com,29/2/2019). “Boro-boro kedaulatan pangan, yang terjadi justru hutang yang semakin besar dengan gill atau imbal beli yang merupakan salah satu tertinggi di asia pasifik”,sebutnya.

Tak hanya di Indonesia, negara sebesar AS pun kewalahan menghadapi virus Corona. Bahkan 14 April Lalu, Donald Trumph mengancam akan menghentikan bantuan dana untuk WHO karena dipandang gagal. Saat ini tak ada satu negara pun yang sudah berhasil mengatasi virus Corona dan menangani dampak kelaparan dengan baik.

Islam Solusi Satu-satunya

Berbeda dengan apa yang pernah terjadi di masa kekhilafahan Turki Utsmaniyah masih ada sekitar dua abad silam. Saat itu, Khalifah Sultan Abdul Majed tak segan memberikan sumbangan kepada negara lain yang jauh dan penduduknya bukan Muslim, yakni Irlandia.(Republika.co.id)

Kala itu saat terjadi bencana ‘Great Famine’ atau ‘Kelaparan Besar’, sultan Turki ini memberikan peranannya. Orang Irlandia mengenal zaman susah ini sebagai Irish Potato Famine (Kelaparan Kentang di Irlandia). Penduduknya mayoritas beragama Kristen. Namun, kekhilafahan Ottoman, Sultan Abdul Majeed yang baru 23 tahun, dengan lapang hati secara pribadi kala itu menawarkan bantuan senilai 10.000 pound kepada Irlandia. Padahal sumbangan Ratu Inggirs hanya senilai dua ribu pound saja, meski Irlandia adalah bagian dari Inggris pada saat itu.

BACA JUGA :   Pemkab Sukoharjo Longgarkan Perpanjangan Izin Usaha Minimarket di Masa Pandemi

Secara diam-diam Sulthan Abdul Majeed mengirimkan lima kapal penuh makanan ke Kota Drogheda pada Mei 1847. Maka di situlah penduduk setempat yang beragama Kristen mulai akrab dengan simbol-simbol Islam, seperti bulan sabit dan bintang. Lambang ini mulai dikenal warga kota itu saat armada kapal bantuan dari Kekhilafahan Ottoman datang. Surat penghargaan dari bangsawan Irlandia dan orang-orang kepada Sultan Ottoman ada di arsip Istana Topkapi hari ini.

Bandingkan dengan kondisi saat ini ketika semua negeri diatur sistem Kapitalisme sekuler. Sudah jatuh tertimpa tangga. “Tak ada makan siang gratis!”. Bank Dunia baru saja menyetujui pinjaman sebesar US$300 juta atau setara Rp4,95 triliun (berdasarkan kurs Rp16.500 per dolar AS) untuk Indonesia. Pinjaman disetujui di tengah penyebaran pandemi virus corona atau Covid-19. Hingga saat ini hutang Indonesia meroket tembus 6.316 triliun (CNN Indonesia, 23/3/2020).

Pun ketika kita bercermin pada keteladanan Khalifah Umar bin Khattab ketika mengatasi wabah. Dalam buku The Great Leader of Umar bin Khathab, Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua, diceritakan bahwa pada tahun 18 H, orang-orang di Jazirah Arab tertimpa kelaparan hebat dan kemarau. Kelaparan kian menghebat hingga binatang-binatang buas mendatangi orang. Binatang-binatang ternak mati kelaparan.

Pada masa paceklik dan kelaparan, Umar Radhiyallahu ‘anhu hanya makan cuka dan minyak sehingga kulitnya berubah menjadi hitam. Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.” Beliau pun memimpin dan mengajak rakyatnya untuk taubatan nasuha, memohon ampunan kepada Allah SWT. Khalifah Umar ra khawatir jika kelaparan yang terjadi disebabkan dosa dan kemaksiatan yang dilakukan seluruh komponen negeri.

Tak hanya itu, Khalifah Umar ra pun bersegera mengeluarkan bantuan secara optimal dari Baitul Mal sebagai kas negara untuk menolong rakyatnya yang kelaparan. Pemenuhan kebutuhan dasar rakyat menjadi prioritas kebijakan. Begitulah gambaran pemimpin yang mencintai rakyat dan rakyat yang mencintai pemimpinnya. Atas izin Allah SWT kelaparan pun dapat teratasi.

Sungguh sangat berbeda pardigma pengurusan sistem kapitalisme sekuler dan islam. Sejarah telah membuktikan penerapan islam dalam naungan khilafah mampu mensejahterakan warganya hingga mampu membantu peradaban dunia. Islam lah satu-satunya solusi yang dibutuhkan dunia saat ini. Tidakkah kita rindu?

Wallahu a’lam bisshowab.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses