JAKARTA — Pernyataan Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo mengenai pentingnya reformasi kultural dan evaluasi menyeluruh proses rekrutmen Polri mendapat dukungan akademik dari Direktur LBH Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Assoc. Prof. Dr. Dhoni Martien, S.H., M.H.. Ia menilai langkah yang ditegaskan Wakapolri sejalan dengan prinsip-prinsip reformasi kelembagaan modern dan memiliki dasar kuat dalam teori administrasi publik serta teori budaya organisasi.
Wakapolri sebelumnya menekankan bahwa pembenahan terbesar Polri justru berada pada aspek kultural; yakni perubahan mentalitas, nilai, dan pola kerja internal kepolisian yang selama ini menjadi sorotan masyarakat. Dedi juga menyampaikan bahwa evaluasi rekrutmen dan pendidikan Polri merupakan fondasi agar institusi mampu menghasilkan anggota kepolisian yang berintegritas dan profesional.
Dhoni menilai pernyataan Wakapolri tersebut tidak hanya tepat, tetapi juga mencerminkan pemahaman strategis mengenai reformasi kelembagaan. Menurutnya, dalam kajian akademik, perubahan kultural adalah inti dari reformasi institusi penegak hukum, karena budaya yang sehat akan melahirkan perilaku organisasi yang berintegritas.
“Pandangan Wakapolri bahwa reformasi kultural adalah PR terbesar Polri sangat tepat. Secara akademik, perubahan struktur tidak akan berarti jika mentalitas organisasi tidak ikut berubah. Kultural adalah pondasi moral institusi. Tanpa itu, reformasi hanya kosmetik,” tegas Dhoni.
Ia juga menguatkan pandangan Wakapolri bahwa rekrutmen berkualitas adalah kunci. Dalam perspektif hukum administrasi, proses rekrutmen yang baik menentukan kualitas aparatur negara, terutama aparat penegak hukum yang memiliki otoritas besar.
“Ketika Wakapolri menyampaikan bahwa rekrutmen dan pendidikan yang baik akan menciptakan personel yang baik, itu benar secara konseptual. Rekrutmen adalah gerbang utama. Jika gerbangnya dibenahi, kualitas institusi ikut naik,” ujar Dhoni.
Dhoni menilai langkah Polri yang melakukan evaluasi sebelum maupun sesudah demonstrasi besar Agustus–September 2025 adalah indikator bahwa institusi sedang bertransformasi secara adaptif. Menurutnya, kritik publik atau tekanan sosial merupakan bagian alami dari dinamika negara hukum, dan Polri menunjukkan kesiapan untuk belajar dan berbenah.
“Dalam teori legitimasi publik, institusi besar harus adaptif. Ketika Polri merespons kritik masyarakat dengan mempercepat evaluasi, itu bukan kelemahan, tetapi bentuk kecerdasan institusional. Respons seperti ini memperkuat kepercayaan publik,” ujar Dhoni.
Ia juga mendukung arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar Polri tidak berhenti memperbaiki diri. Menurutnya, reformasi yang bersifat berkelanjutan (continuous improvement) adalah ciri institusi modern dan menjadi syarat agar Polri mampu menjawab tuntutan masyarakat yang terus berkembang.
Dhoni menegaskan bahwa empat fokus transformasi Polri dalam organisasi, operasional, pengawasan, dan pelayanan publik adalah kerangka reformasi yang sudah sesuai standar internasional bagi lembaga kepolisian di negara modern. Ia menilai implementasi empat fokus tersebut dapat memperkuat profesionalitas Polri dalam jangka panjang.
“Empat fokus itu merupakan framework reformasi yang lengkap. Jika dijalankan konsisten, Polri dapat menjadi organisasi modern yang akuntabel dan humanis. Dari sudut pandang akademik, arah reformasi yang disampaikan Wakapolri sudah berada di jalur yang benar,” katanya.
Sebagai penutup, Dhoni menilai bahwa pernyataan Wakapolri mencerminkan kesadaran mendalam atas kebutuhan reformasi Polri secara struktural dan kultural. Ia berharap langkah ini terus dijalankan dengan konsistensi dan dukungan seluruh elemen bangsa.*
















