JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa aduan pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hanya dapat diajukan oleh individu, bukan oleh institusi atau badan hukum.
Pernyataan ini disampaikan Yusril menanggapi rencana Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sempat berencana melaporkan Ferry Irwandi menggunakan Pasal 27A UU ITE. Pasal tersebut mengatur tindak pidana pencemaran nama baik melalui sistem elektronik.
“Pasal 27A UU ITE itu merupakan delik aduan. Yang dapat mengadukan adalah korban sebagai person individu, bukan institusi atau badan hukum,” ujar Yusril melalui keterangan tertulis, Kamis (11/9).
Didukung Putusan Mahkamah Konstitusi
Yusril menjelaskan, ketentuan tersebut juga telah dipertegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 105/PUU-XXII/2024 tanggal 29 April 2025. Dalam putusan itu, MK menyatakan pasal mengenai penyerangan kehormatan sebagaimana dimuat dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE tidak berlaku bagi lembaga pemerintah, korporasi, maupun institusi.
Pasal 27A UU ITE berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain …”
Sedangkan Pasal 45 ayat (4) UU ITE mengatur ancaman pidana penjara maksimal dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta bagi pelanggar ketentuan tersebut.
Menurut MK, frasa “orang lain” dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai “kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas tertentu, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.”
“Jadi, TNI sebagai institusi negara bukanlah korban yang dapat mengadukan tindak pidana pencemaran nama baik,” tegas Yusril.
Sikap TNI Dinilai Tepat
Yusril juga menyampaikan apresiasi atas langkah TNI yang memilih berkonsultasi dengan Polri sebelum menempuh jalur hukum.
“Keinginan TNI untuk berkonsultasi dengan Polri harus diapresiasi agar tidak salah langkah. Jawaban Polri yang merujuk kepada Putusan MK tersebut juga sudah benar secara hukum. Karena itu, menurut saya persoalan ini sebaiknya dianggap selesai,” ujarnya.
Dialog Sebagai Jalan Utama
Terkait tulisan Ferry Irwandi di media sosial, Yusril mendorong TNI untuk mengkajinya dengan saksama. Menurutnya, apabila tulisan itu bersifat kritik konstruktif, maka hal tersebut merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi.
“Saya menyarankan TNI membuka komunikasi dan berdialog dengan Ferry Irwandi dalam suasana keterbukaan dan prasangka baik,” kata Yusril.
Ia menekankan, jalur hukum, terlebih pidana, semestinya menjadi langkah terakhir setelah upaya lain tidak membuahkan hasil. “Pidana adalah ultimum remedium. Artinya, jalan terakhir. Selama ada ruang dialog, lebih baik ditempuh terlebih dahulu,” pungkasnya.*