JAKARTA – Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera menetapkan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib sebagai pelanggaran HAM berat. Tenggat waktu diberikan hingga 8 Desember 2025.
Tuntutan itu disampaikan sejumlah aktivis saat menggelar aksi di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (8/9).
“Kita minta 8 Desember Komnas HAM mengeluarkan keputusan untuk menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat,” tegas Koordinator KontraS, Dimas.
Ia menegaskan publik akan terus mengawal jalannya penyelidikan. “Kita awasi bersama-sama, kita desak terus. Tanggal 8 Desember harus ada statement resmi dari Komnas HAM,” imbuhnya.
Ketua Komnas HAM Siap Mundur
Menanggapi desakan itu, Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyatakan pihaknya berkomitmen menuntaskan penyelidikan. Bahkan, ia menyatakan siap mundur apabila hingga batas waktu tersebut belum ada keputusan.
“Silakan dicatat, jika sampai 8 Desember Komnas HAM belum menyelesaikan penyelidikan atas pembunuhan Munir, saya bersedia mundur,” kata Anis.
Anis menyebut tim penyelidik telah mengumpulkan berbagai bukti, memeriksa 18 saksi, hingga melakukan koordinasi lintas lembaga.
“Kami berkomitmen untuk menuntaskan dan segera menyampaikan hasilnya,” tegasnya.
Penanganan Jalan di Tempat
Ketua KASUM Usman Hamid menilai penanganan kasus Munir tak menunjukkan kemajuan berarti. Sudah 21 tahun berlalu sejak kematian Munir pada 7 September 2004, keadilan tak kunjung ditegakkan.
“Seharusnya Jaksa Agung membuka kembali kasus ini dengan peninjauan kembali. Polisi juga seharusnya melakukan investigasi baru. Namun hingga kini tidak ada perkembangan,” ujar Usman, yang juga Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Ia juga menyoroti lambannya Komnas HAM. “Mereka mengaku sudah melakukan penyelidikan lebih dari dua setengah tahun. Tapi hasilnya belum ada. Ini terlalu berlarut-larut,” kritiknya.
Usman menekankan pentingnya pengungkapan kasus Munir demi membersihkan institusi negara dari penyalahgunaan kekuasaan.
“Kasus ini penting untuk membersihkan BIN, TNI, dan Polri dari orang-orang yang berlindung di balik kekuasaan lembaganya,” katanya.
Dua Dekade Tanpa Keadilan
Munir meninggal di pesawat Garuda Indonesia dalam penerbangan menuju Amsterdam pada 7 September 2004. Autopsi menyatakan ia diracun arsenik.
Sejumlah orang sempat diproses hukum, namun sebagian besar lolos dari jerat pidana. Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda, hanya dihukum atas pemalsuan dokumen. Ia bebas pada 2018.
Mantan Dirut Garuda, Indra Setiawan, sempat dipenjara setahun dan bebas pada 2008. Sementara Muchdi Prawirandjono, mantan Deputi BIN, divonis bebas oleh PN Jakarta Selatan pada 2008 tanpa ada upaya hukum lebih lanjut dari Kejaksaan Agung.
Kasus ini hingga kini masih menjadi salah satu misteri terbesar pelanggaran HAM di Indonesia.*