Kemauan Politik Jadi Penentu Penerapan HAM

  • Bagikan

JAKARTA – Penerapan HAM (hak asasi manusia) dapat menghadapi berbagai kendala yang berasal dari berbagai sumber, termasuk faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum. Salah satunya adalah kurangnya kemauan politik. Hal itu dikatakan Sekjen SATUPENA, Dr. Satrio Arismunandar.

Satrio Arismunandar mengomentari diskusi bertema wajah HAM Indonesia setelah 78 tahun merdeka. Diskusi di Jakarta, Kamis malam, 31 Agustus 2023 itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai penulis senior Denny JA.

Diskusi wajah HAM Indonesia yang dikomentari Satrio Arismunandar itu menghadirkan pembicara Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Diskusi itu dipandu oleh Elza Peldi Taher.

Satrio Arismunandar menyatakan, terkait kurangnya kemauan politik, Pemerintah mungkin memprioritaskan kepentingan mereka sendiri di atas HAM, sehingga menyebabkan kurangnya upaya untuk menerapkan dan melindungi HAM.

BACA JUGA :   Polisi Selamatkan Pria Berusaha Lakukan Percobaan Bunuh Diri di Kosambi

Faktor berikut adalah kurangnya supremasi hukum. “Sistem hukum yang lemah atau kurangnya mekanisme penegakan hukum dapat mempersulit upaya meminta pertanggungjawaban individu atau entitas atas pelanggaran HAM,” ujar Satrio, lulusan S3 Filsafat UI ini.

Selain itu, ada diskriminasi dan marginalisasi. “Diskriminasi berdasarkan faktor-faktor seperti ras, gender, agama, dan orientasi seksual dapat menghalangi penikmatan HAM yang setara,” ucap Satrio.

Satrio memberi contoh Afganistan, yang saat ini dipimpin rezim Taliban. Taliban melarang kaum perempuan untuk bersekolah dan bekerja di sektor publik, termasuk bekerja untuk LSM dan badan-badan PBB.

Ironinya, ketika tentara Amerika Serikat masih bercokol di Afganistan, kaum perempuan Afganistan malah bebas untuk bersekolah dan mengenyam pendidikan.

BACA JUGA :   Degan Diklat Kehumasan dan Jurnalistik ,Tingkatkan Digitalisasi di Dunia Pendidikan

“Tetapi, di bawah penguasa Taliban yang sebangsa dan seagama, kaum perempuan malah dihambat haknya untuk memperoleh pendidikan atas nama agama,” kata Satrio, prihatin.

Faktor lain adalah relativisme budaya. Budaya dan masyarakat yang berbeda mempunyai penafsiran yang berbeda-beda mengenai hak asasi manusia.

“Hal ini dapat menyebabkan bentrokan dan tantangan ketika mencoba menerapkan hak-hak ini secara universal,” tutur Satrio.

Satrio memberi contoh terjadinya benturan antara “hak-hak kaum LGBTQ” dengan budaya serta nilai-nilai religius di dunia Arab, seperti terlihat dalam ajang Piala Dunia yang diselenggarakan FIFA di Qatar.

Keputusan FIFA untuk mengadakan pertandingan Piala Dunia di Qatar memicu kontroversi karena Qatar secara tegas tidak mengakui “hak-hak kaum LGBTQ.” “Homoseksualitas dan berkampanye mendukung LGBTQ akan dianggap tindakan kriminal,” jelas Satrio.

BACA JUGA :   Sosok Malahayati, Laksamana Perempuan Pertama di Dunia yang Melegenda
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses