JAKARTA – Pendelegasian Flight Information Region (FIR) Indonesia ke Singapura hanyalah salah satu dari banyak masalah kedirgantaraan di Indonesia. Pendelegasian FIR tak boleh direduksi sebagai bukan urusan kedaulatan, atau semata soal untung-rugi, karena ini menyangkut martabat bangsa.
Hal itu ditegaskan Chappy Hakim, pendiri dan Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia, sebagai narasumber dalam Webinar di Jakarta, Kamis (3/2). Webinar itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia, SATUPENA. Pemandu diskusi adalah Swary Utami Dewi dan Anick HT.
Chappy juga menyesalkan, banyak yang berkomentar di media tidak memahami esensi persoalan. Misalnya, isu FIR difokuskan ke masalah untung-rugi. Padahal, menurut Chappy, esensinya sangat jauh dari sekedar “soal untung-rugi,” sebagaimana yang berkembang sekarang ini.
Sebagai mantan pilot TNI-AU yang lalu menjabat Direktur Operasi dan Latihan Angkatan Udara, Chappy waktu itu merasa, ada yang “menghambat” pelaksanaan tugas- tugas AU di ruang udara kawasan perairan selat Malaka dan Natuna.
“Pelaksanaan operasi dan latihan AU, yang secara universal diketahui sebagai kegiatan tertutup, menjadi sulit dilaksanakan. Inilah esensi mengapa saya dulu mempermasalahkan FIR di perairan selat Malaka dan Kepulauan Riau,” tutur Chappy.
Chappy lebih memandang FIR sebagai masalah martabat, sebagai anggota Angkatan Udara sebuah bangsa yang besar, dalam kegiatan menjalankan tugas negara.
Chappy menyesalkan, tidak ada satu instansi di negeri ini yang mengurus khusus tentang pengelolaan wilayah udara kedaulatan, yang mengurus penerbangan dalam arti luas.
“Padahal masalah penerbangan bersifat internasional sekaligus interdisiplin dan tentu saja inter-departemental. FIR hanya salah satu saja dari demikian banyak isu mengenai kedirgantaraan,” tegasnya. #