JAKARTA – Sebuah laporan investigasi dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkap tirai besi di balik operasi tambang nikel di Halmahera Timur. Laporan berjudul “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera” itu menguak bagaimana pusat kehidupan adat telah bertransformasi menjadi arena pertarungan korporasi tambang, jaringan modal-politik, dan aparat negara.
Inti dari laporan setebal 45 halaman tersebut adalah skema monopoli siluman yang dijalankan oleh PT Position, sebuah perusahaan yang kendalinya tidak berada di pulau terpencil Maluku Utara, melainkan dalam jejaring rumit yang melintas dari Jakarta, Bermuda, hingga Beijing. Jaringan inilah yang mengunci kontrol dan mengorbankan ekosistem, sejarah, serta martabat orang Halmahera demi keuntungan segelintir elit.
Struktur Holding dan Kepemilikan Asing: Kendali Terpusat di Balik PT Position
Di balik operasi tambang PT Position, berdiri raksasa konglomerat Harum Energy Tbk, yang dikendalikan oleh keluarga Barki. Sejak 2024, PT Position sepenuhnya berada di bawah kendali PT Tanito Harum Nickel (THN), anak usaha Harum Energy. Pola ini menunjukkan strategi besar konglomerasi untuk beralih dari bisnis batubara yang tengah surut ke nikel, komoditas emas hijau untuk kendaraan listrik.
Secara kepemilikan, PT Position 51% dikuasai Tanito Harum Nickel, sementara sisanya 49% dimiliki oleh Nickel International Capital Pte. Ltd. dari Singapura.
Namun, kepemilikan asing ini hanyalah bagian dari struktur finansial. Sumber internal mengonfirmasi bahwa seluruh kebijakan operasional, dari ekspansi izin, strategi hilirisasi, hingga penanganan konflik lahan, ditentukan secara terpusat oleh Harum Energy sebagai holding.
“Arah kebijakan selalu kembali ke grup Harum. Position hanya salah satu pintu operasional, bukan pusat kendali,” ujar seorang analis pertambangan.
Di lapangan, PT Position hanyalah satu puzzle dalam jaringan bisnis yang lebih besar. Perusahaan ini terhubung dengan jejaring smelter seperti PT Infei Metal Industry (IMI), PT Westrong Metal Industry (WMI), PT Blue Sparking Energy (BSE), dan PT Harum Nickel Perkasa (HNP) yang beroperasi di Kawasan Industri Weda Bay.
Proyek unggulan mereka, fasilitas High-Pressure Acid Leaching (HPAL) berkapasitas 67.000 ton nikel per tahun, menegaskan ambisi grup Harum untuk menjadi pemain utama dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik global.
Dari Batubara ke Nikel: Strategi Transisi yang Menghancurkan
Harum Energy, yang selama ini dikenal sebagai raja batubara di Kalimantan, kini melakukan manuver besar-besaran ke sektor nikel. Ekspansi ini dilakukan melalui akuisisi, pendirian pabrik, dan kemitraan strategis dengan pemain global seperti Eternal Tsingshan Group Limited dari China.
Analisis pasar melihat ini sebagai strategi bertahan di era transisi energi. Namun, bagi Halmahera, transisi energi global ini justru diwarnai oleh perusakan lingkungan dan konflik sosial yang dipicu oleh kedatangan konglomerat yang sama kuatnya.
Aktor Kunci: Jejaring Kekuasaan di Balik Monopoli
Di balik nama besar PT Position, tersembunyi jaringan kekuasaan yang jauh melampaui urusan tambang. Struktur pimpinannya menunjukkan kombinasi antara kekuatan modal lama, koneksi politik, jejaring internasional, dan keahlian teknis yang mumpuni, sebuah konfigurasi yang menjadikan perusahaan ini salah satu pemain paling berpengaruh di industri nikel Indonesia.
Di puncak hierarki ada Lawrence Barki, Komisaris PT Position sekaligus Presiden Komisaris Harum Energy. Ia adalah pewaris generasi kedua dari konglomerasi keluarga Barki yang membangun kekayaan lewat batu bara di Kalimantan. Kini, Lawrence memindahkan pusat gravitasi bisnis keluarga ke sektor nikel, dari daratan Kalimantan menuju pesisir timur Halmahera.
Sementara itu, posisi Direktur Utama dipegang Stephanus Eka Dasawarsa Sutantio, nama yang kerap muncul dalam pusaran kontroversi. Ia tercatat dalam Paradise Papers karena kepemilikan entitas offshore di Bermuda, dan pernah diperiksa KPK dalam kasus besar Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sosoknya mencerminkan kompleksitas dunia bisnis Indonesia, di mana kekuasaan, modal, dan hukum sering kali berjalin tanpa garis yang jelas.
Kendali teknis operasional berada di tangan Hariyadi, teknokrat pertambangan berpengalaman empat dekade yang juga menjabat sebagai Direktur di Harum Energy. Ia memastikan bahwa bisnis tambang tetap berjalan mulus di tengah ketegangan antara pusat dan daerah, antara izin formal dan praktik lapangan.
Nama Yun Mulyana, mantan Wakapolri yang kini menjabat sebagai Komisaris Harum Energy, memberi lapisan baru pada kekuatan korporasi ini. Kehadirannya membuka jalur komunikasi strategis dengan aparat keamanan dan regulator, dua unsur vital dalam ekosistem bisnis tambang di Indonesia.
Selain itu, Kenneth Scott Andrew Thompson, warga negara Inggris yang duduk di kursi Komisaris PT Position, menjadi penghubung dengan dunia bisnis global. Ia membawa legitimasi internasional sekaligus memperkuat akses pada jaringan investasi lintas negara.
Dari sisi Timur, kekuatan modal Tiongkok hadir melalui Cao Zhiqiang dan He Xiaozhen. Keduanya menempati posisi strategis sebagai Direktur dan Komisaris, mewakili kepentingan Nickel International Capital dan Tsingshan Group, dua entitas besar yang menjadi motor ekspansi industri nikel Tiongkok di Asia Tenggara.
Susunan ini menjadikan PT Position bukan sekadar entitas bisnis, melainkan simpul dari kekuasaan global yang menyeberangi batas politik dan ekonomi. Di Halmahera, kekuasaan itu menjelma menjadi tambang yang tak hanya mengeruk nikel, tapi juga mengeruk ruang kontrol negara atas sumber daya.
Ini bukan sekadar investasi asing biasa. Ini adalah struktur modal global yang mengatur ekosistem nikel dari tambang, logistik, hingga smelter,” ujar seorang akademisi ekonomi politik Maluku Utara.
Monopoli yang Menghancurkan
PT Position bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Ia adalah ujung tombak dari sebuah struktur raksasa yang menghubungkan modal domestik, modal asing, mantan petinggi negara, professional teknis, dan jaringan offshore internasional.
Struktur monopoli siluman inilah yang memastikan setiap konflik di lapangan, sengketa lahan, pelanggaran lingkungan, atau kriminalisasi warga, tidak pernah menjadi persoalan lokal. Setiap masalah selalu terhubung dengan jaringan yang jauh lebih besar dan kuat yang bekerja di balik layar, mengorbankan Halmahera Timur untuk mengamankan kendali atas komoditas strategis masa depan.*
















