JAKARTA – Acara halal bihalal yang dilakukan Perkumpulan Penulis Indonesia, SATUPENA, merupakan bagian dari upaya untuk mengakrabkan warga negara dan merayakan perbedaan. Jika perbedaan politik, agama dan masalah sosial membelah kita, maka halal bihalal menyatukan kita.
Hal itu diungkapkan Denny JA, Ketua Umum SATUPENA, dalam acara Halal Bihalal SATUPENA di Jakarta, Sabtu (7/5). Acara itu dihadiri lebih dari 50 anggota komunitas dan Dewan Penasihat SATUPENA. Dewan Penasihat yang hadir adalah Chappy Hakim (Ketua), Inda Citraninda Noerhadi, dan Wina Armada Sukardi.
Acara yang dipandu oleh Amelia Fitriani dan Elza Peldi Taher itu disertai iringan musik dari The Playsets Band. Juga ada pembacaan puisi oleh: Eka Budianta, Monica JR, Swary Utami Dewi, Nurhayati, Nia Samsihono, Soen’an Hadi Poernomo, dan Jose Rizal Manua.
Tokoh senior yang hadir, antara lain: Gemala Hatta, Bachtiar Aly, Hery Sucipto, dan Budiman Hakim. Juga hadir perwakilan dari komunitas penulis The Writers dan komunitas penulis buku Kompas. Acara berlangsung meriah sampai ditutup pukul 17.30.
Dalam acara itu, Denny JA menyampaikan hasil penelitian Pew Research Center terkait indeks permusuhan sosial (social hostilities index). Permusuhan sosial berkisar mulai dari pelecehan atas identitas agama seseorang hingga kekerasan massa terkait agama, konflik sektarian, dan terorisme.
Indonesia termasuk negara yang indeks permusuhan sosialnya tinggi. Dalam kaitan itulah, acara halal bihalal menjadi penting. “Tradisi halal bihalal adalah asli temuan Indonesia sendiri. Tradisi ini tidak terdapat di Timur Tengah,” ujar Denny.
Istilah halal bihalal diyakini adalah hasil diskusi antara Presiden pertama RI Soekarno dan Kyai Abdul Wahab Chasbullah. Halal bihalal awalnya untuk menjadi solusi atas masalah perpecahan di kalangan elite politik di masa itu.