Oleh Wahyu Rahmad Dani (Mahasiswa PKN STAN)
Berbicara tentang Perbankan tentu tidak akan lepas dari istilah–istilah seperti Non Performing Loan (NPL) dan Loan at Risk (LAR), tentu banyak yang bertanya apa itu NPL dan LAR dan apa hubungannya dengan perbankan.
Okay coba sedikit saya jelaskan Non Performing Loan (NPL) adalah salah satu cara atau sebuah kunci bagi sebuah bank untuk menilai fungsi bank tersebut bekerja baik atau tidak. Dengan NPL akan membuat bank dapat menilai berapa banyak modal yang dimiliki oleh bank tersebut.
NPL berkaitan dengan kredit bermasalah, tidak semua bank memiliki nasabah yang rajin membayar kreditnya, namun ada juga nasabah yang terlambat membayar kreditnya, tidak hanya sebulan atau dua bulan namun sampai berbulan-bulan. Semakin banyak angka rasio NPL pada sebuah bank bisa dipastikan bahwa ada yang salah dengan fungsi kinerja bank tersebut, dampak negatif yang ditimbulkan pun semakin banyak.
Sedangkan semakin kecil rasio persentasi dari sebuah NPL, bisa dipastikan bahwa kinerja bank dan fungsi bank tersebut sudah bekerja dengan baik. Atau singkatnya presentase NPL adalah presentase jumlah Kredit Macet Sedangkan Loan at Risk (LAR) adalah adalah indikator yang menunjukkan berapa % peminjam yang menunggak.
Angka ini diperoleh dari hasil perbandingan antara berapa peminjam yang menunggak 3 bulan atau lebih dengan seluruh peminjam yang masih memiliki saldo pinjaman. Jadi singkatnya cakupan LAR ini lebih luas daripada NPL atau NPL termasuk bagian dari LAR.
Lalu apa yang terjadi jika angka NPL pada sebuah bank terlampau tinggi? Pertama yaitu masalah likuiditas pada Bank tersebut, lalu yang kedua adalah masalah Rentabiliitas, keadaan dimana utang yang telah dikeluarkan kepada nasabah yang bermasalah tidak dapat ditagih kembali. Hal ini dikarenakan nasabah selalu mangkir dari tagihan kredit kepada bank yang bersangkutan, atau nasabah sudah melarikan diri.
Hal ini sering terjadi pada bank yang memiliki angka rasio NPL tinggi. Jika sudah begitu, pihak bank akan merasa kesulitan dalam melakukan penagihan. Sehingga hutang pun tidak bisa kembali.
Lalu yang ketiga adalah Solvabilitas. Masalah solvabilitas merupakan masalah bagi pihak intern bank. Masalah itu berupa modal yang ada di dalam bank tersebut berkurang dan bank akan kesulitan dalam melakukan fungsinya.
Dan yang keempat yaitu keuntungan yang menurun. Hal ini dikarenakan bank banyak kehilangan pendapatan karena NPL yang tinggi.
Menurut Bapak Heru Kristiyana selaku Kepala Eksekutif Pengawas perbankan OJK, dengan adanya pandemi Covid-19 yang berkepanjangan akan berdampak pada kinerja keuangan perbankan nasional.
Ada tiga resiko yang akan dihadapi perbankan, yakni risiko pertama adalah kredit. Risiko Ini tentunya mulai akan terlihat jika sektor UMKM mulai terganggu dan tidak membayar kewajibannya kepada industri keuangan, seperti yang sudah saya jelaskan hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya NPL perbankan.
Menurut Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan bahwa hingga akhir maret 2020 total terdapat Rp 1.045 triliun kredit UMKM di perbankan dengan rasio kredit macet atau non-performing loan (NPL) sebesar 3,5 persen.
Menurut beliau risiko rasio NPL saat ini sudah besar, khususnya pada sektor industri dan perdagangan. Hal tersebut mengarah ke risiko yang kedua yaitu likuiditas bank, kalau nasabahnya tidak membayar lalu bagaimana bank memenuhi likuiditasnya. Risiko yang ketiga adalah risiko pasar, yaitu perubahan aset lembaga jasa keuangan yang diakibatkan oleh yield instrumen keuangan dan pelemahan nilai tukar.
Tentu pemerintah sudah memprediksi hal-hal seperti itu, nah setidaknya OJK telah mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi dampak pandemi Covid-19 yaitu kebijakan untuk meredam volatilitas di pasar keuangan dalam menjaga kepercayaan investor dan stabilisasi pasar serta memberi napas bagi sektor riil dan informal untuk dapat bertahan di masa pandemi virus corona melalui relaksasi, restrukturisasi kredit/pembiayaan dan subsidi bunga lebih lanjut OJK telah merilis regulasi POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional.
Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran COVID-19 Regulasi tersebut mencakup dua ketentuan.
Pertama, penilaian kualitas kredit atau pembiayaan maupun penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit sampai dengan Rp 10 miliar.
Kedua, restrukturisasi (pelaku UMKM Terdampak Pandemi) dengan peningkatan kualitas kredit atau pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi. Ketentuan restrukturisasi ini dapat diterapkan Bank tanpa batasan plafon kredit.
Mari kita bahas sedikit tentang restrukturisasi kredit/pembiayaan, menurut laman resmi OJK, restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang berpotensi mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya.
Kebijakan restrukturisasi kredit yang dilakukan pihak bank antara lain melalui:
Penurunan suku bunga kredit
Perpanjangan jangka waktu kredit
Pengurangan tunggakan bunga kredit
Pengurangan tunggakan pokok kredit
Penambahan fasilitas kredit
Konversi kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara.
Menurut Direktur Riset Core Indonesia, Piter Abdullah, Restrukturisasi Kredit dapat menekan angka kenaikan NPL karena dengan aturan relaksasi kredit yang dikeluarkan OJK ini maka perbankan tidak perlu menambah Non performing loan (NPL) untuk menambah cadangan kerugian akibat kredit macet.
Artinya kredit yang direstrukturisasi tersebut masih terhitung kredit lancar, bukan NPL sehingga diharapkan likuiditas perbankan juga tetap stabil, selain itu restruturisasi ini diharapkan juga mengatasi melemahnya pengajuan kredit di tengah kondisi ekonomi yang terdampak penyebaran Covid-19, sehingga dapat mendorong pertumbuhan kredit perbankan yang saat ini sangat rendah baru sekitar 6 persen.
OJK juga menekankan kepada seluruh bank agar dalam pemberian kebijakan restrukturisasi ini dilakukan secara bertanggung jawab agar tidak terjadi moral hazard yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab (freerider).
Sebagai contoh, bentuk moral hazard antara lain kebijakan restrukturisasi diberikan kepada nasabah yang sudah bermasalah sebelum merebaknya Covid 19, namun memanfaatkan stimulus ini dengan memberikan restrukturisasi agar status debiturnya menjadi lancar.
Kebijakan relaksasi kredit ini berlaku selama satu tahun hingga 31 Maret 2021. Dalam keterangan resmi tersebut, OJK juga melarang penarikan kendaraan oleh debt collector yang diperintahkan oleh perusahaan leasing terhadap debitur.
Saat ini OJK sedang melakukan finalisasi bentuk produk hukum setelah berkoordinasi dengan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia agar penerapannya tidak menimbulkan moral hazard.
Saya berharap agar proses pengajuan restrukturisasi ini dapat dipermudah dan harus tetap tepat sasaran sehingga jika berjalan dengan lancar perekonomian dapat tumbuh ke arah yang positif.
Saya yakin kita bersama dapat melewati situasi ini karena kita sudah pernah melalui situasi krisis semacam ini atau bahkan lebih buruk yaitu Krisis 1998 dan Krisis keuangan 2008. Semoga berbagai sektor yang terdampak pandemi ini segera membaik dan lekas menuju ke arah yang lebih positif.