JAKARTA — Dugaan praktik prostitusi berkedok layanan relaksasi mencuat di sebuah spa mewah yang beroperasi di kawasan elite Jakarta Utara. Shazamassage Spa, yang berlokasi di Ruko Puri Mutiara, Jl. Griya Utama No. 120 Blok A, Sunter Agung, Tanjung Priok, diduga kuat menawarkan jasa seksual secara terselubung. Bahkan terang-terangan melalui kanal media sosial.
Berdasarkan penelusuran di lapangan dan laporan sejumlah pihak, spa ini aktif mempromosikan layanan “plus-plus” melalui akun TikTok, Facebook, dan Instagram. Tak hanya itu, sejumlah unggahan juga menampilkan foto-foto terapis dengan kode layanan tertentu yang mengarah pada praktik prostitusi, yang ditawarkan melalui pesan langsung (DM).
Seorang narasumber berinisial Rio (34), yang mengaku pernah menjadi pelanggan, mengungkapkan bahwa penawaran layanan seksual dilakukan sejak awal ia tiba di lokasi.
“Begitu datang, langsung ditawari terapis yang bisa ‘lebih’. Tarifnya bisa jutaan, tergantung durasi dan jenis layanan. Kamarnya privat, tertutup rapat, seperti hotel mini,” ungkap Rio kepada wartawan, Senin (21/7/2025).
Pengakuan Rio memperkuat dugaan bahwa praktik asusila di tempat tersebut dilakukan secara sistematis, dengan dukungan fasilitas yang melampaui layanan spa konvensional.
Jika terbukti, aktivitas Shazamassage Spa melanggar sejumlah regulasi penting, termasuk Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang secara tegas melarang praktik prostitusi di tempat usaha hiburan dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 18 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata, yang hanya memperbolehkan layanan kebugaran dan relaksasi, bukan seksual.
Pelanggaran terhadap aturan-aturan ini tidak hanya berujung pada sanksi administratif, namun juga dapat berimplikasi pada pencabutan izin operasional.
Akademisi dan pengamat kebijakan publik, Awy Eziary, S.H., S.E., M.M., mengecam keras dugaan praktik prostitusi yang dibungkus rapi dalam kemasan layanan spa mewah.
“Ini bukan lagi sekadar pelanggaran aturan, tapi penghinaan terhadap moral publik. Apalagi jika promosi dilakukan secara terbuka di media sosial yang bisa diakses anak-anak,” tegas Awy.
Ia menekankan bahwa promosi layanan seksual secara digital justru menambah dimensi bahaya baru, terutama bagi remaja yang rentan terpapar konten tersebut.
“Kalau sampai anak-anak bisa mengakses akun spa yang terang-terangan menawarkan layanan esek-esek, maka ini bukan hanya soal prostitusi, tapi soal masa depan generasi bangsa,” tambahnya.
Upaya konfirmasi ke pihak Shazamassage Spa menemui jalan buntu. Para staf dan pegawai yang ditemui di lokasi enggan memberikan keterangan. Pintu-pintu tertutup rapat, dan suasana di dalam ruko tampak sepi namun mencurigakan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari manajemen spa maupun dari Suku Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Jakarta Utara.
Mencuatnya kasus ini menambah daftar panjang dugaan prostitusi terselubung yang merusak citra sektor jasa hiburan dan wellness di Ibu Kota. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Satpol PP didesak untuk tidak lagi bersikap pasif. Penegakan aturan dan pengawasan ketat terhadap operasional spa dan tempat hiburan serupa menjadi kebutuhan mendesak.
Jika tidak segera ditindak, kekhawatiran publik akan semakin membesar bahwa praktik prostitusi kini bukan hanya berlangsung di tempat remang-remang, tetapi telah bermetamorfosis menjadi layanan premium yang dipromosikan secara digital dan dikemas dalam kemewahan.*