JAKARTA – Perubahan budaya seiring adanya transformasi digital harus diimbangi dengan pengetahuan sumber daya manusia (SDM) yang baik. Menurut dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Ismail Cawidu, budaya digital yang berbasis pada teknologi internet benar-benar ditentukan oleh penguasaan ilmu pengetahuan.
Ismail menyampaikan hal itu saat menjadi narasumber dalam Seminar Merajut Nusantara yang digelar BAKTI Kominfo bekerja sama dengan Komisi I DPR RI dengan tema “Pemanfaatan TIK Dalam Mengembangkan Budaya Komunikasi Digital Dalam Masyarakat Indonesia”, Kamis (10/2/2022).
“Bagi masyarakat yang tidak mengetahui pengetahuan yang baik terkait budaya digital maka cenderung menerima saja apapun yang keluar dari budaya digital itu. Nah, mereka ini yang menjadi target penipuan. Maka di sinilah betapa pentingnya kita memahami budaya digital,” kata Ismail.
Ismail mengatakan, pola hidup manusia saat ini hampir semua bergantung pada internet. Bahkan hari ini sudah beralih ke metavers.
“Ini transisi budaya. Artinya saat ini ada benturan antara budaya lama dengan budaya baru,” ujarnya.
Ia menyebutkan, ada 3 kelompok dalam penggunaan internet, yakni kelompok pengguna, praktisi, dan pemimpin atau CEO. Sehingga, menurutnya, cara penggunaan mereka berbeda-beda.
“Di Kominfo ada program digital talent scholarship. Silakan teman-teman bisa belajar sesuai peminatan di sana,” sebutnya.
Ismail juga menjelaskan soal algoritma dalam berinternet. Menurutnya, di dalam akun-akun yang kita gunakan memiliki ciri-cirinya masing-masing.
“Ada algoritmanya. Ini yang akan menuntun setiap orang dalam menggunakan internet. Segala aktivitas kita itu direkam oleh sistem. Nah, sistem itu memprofile kebiasaan yang kita lakukan di akun kita,” ujarnya.
Untuk itu, Ismail menyarankan agar dalam berinternet mulai dengan yang positif. Karena, menurutnya, apa yang kita cari di internet semuanya akan tercatat.
“Karena algoritma bisa mengetahui apa yang kita suka dan sering kita cari,” ucap Ismail.
Sementara, akademisi Ahmad Redi, mengatakan, saat ini teknologi informasi menjadi yang paling terdepan dan sebagai pemimpin. Pasalnya, menurut dia, regulasi saat ini baru diciptakan ketika ada fenomena dalam berinternet.
“Artinya hukum sekarang berdiri di belakang. Itu terjadi karena TIK begitu cepat berjalan dan kita baru hanya bisa menyesuaikan,” kata Redi.
Ia mencontohkan masalah ojek online yang regulasinya baru diciptakan setelah dipermasalahkan para driver.
“Hari-hari ini kita diributkan dengan pinjol. Nah, sekarang TIK itu menjadi leader,” ujarnya.
Selain Ismail Cawidu dan Ahmad Redi, dalam seminar itu juga hadir anggota Komisi I DPR RI, Krisantus Kurniawan, sebagai narasumber.