Siswi SD Digilir 4 Siswa di Bungo, Ini Kata Psikolog

  • Bagikan

DimensiNews.co.id, BUNGO-  Pelecehan seksual yang dilakukan 4 orang siswa terhadap seorang siswi saat jam pelajaran berlangsung di sebuah Sekolah Dasar di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat.

Diberitakan sebelumnya, menurut keterangan dari orangtua korban, persoalan tersebut tidak dibawa ke jalur hukum melainkan diselesaikan secara adat antara orangtua pelaku dan korban. Namun, sampai saat ini para orang tua pelaku tidak sanggup membayar sanksi yang sudah ditetapkan adat.

Selain itu, diduga ada seorang guru yang mengetahui kejadian tersebut meminta korban untuk tutup mulut dengan memberikan uang Rp 50 ribu. Jika ada yang menanyakan siapa yang memperkosa dirinya, oknum guru itu meminta korban untuk menunjuk ayah tirinya sebagai pelakunya.

Menanggapi hal tersebut, Psikolog Fina Afriany yang berasal dari Kabupaten Bungo menjelaskan, pelaku dan korban masih dalam kategori anak. Dia menduga si pelaku kemungkinan pernah menjadi korban sebelumnya atau dipicu oleh lingkungan atau tontonan yang tidak mendidik.

BACA JUGA :   Seorang Warga Gunung Batin Dibekuk Satnarkoba Polres Tubaba

“Kenapa bisa sampai melakukan tindakan asusila. Kalau mereka tidak punya pengalaman, kemungkinan pernah melihat atau melakukan. Kemungkinan juga pelaku pernah menjadi korban sodomi atau pernah menyaksikan film porno,” ucap Fina, Jum’at (13/3/2020).

“Pengawasan orangtua terhadap anak itu penting sekali,” tambahnya.

Dia menuturkan, korban kekerasan seksual akan mengalami trauma psikologi yang hebat, apalagi terjadi pada anak kecil. Korban harus diberikan terapi pendampingan dan pemulihan psikologi.

Tak hanya korban, para pelaku pemerkosaan yang notabene masih di bawah umur itu juga harus diperiksa kejiwaannya. Dari hasil pemeriksaan psikologi, akan diketahui penyebab mereka melakukan perbuatan asusila itu.

“Jadi dari hasil pemeriksaan psikologi itu bisa diketahui, kenapa mereka berani melakukan hal yang seperti itu, apa yang melatarbelangi pelaku melakukan hal sejauh itu,” imbuhnya.

Fina menyebutkan, jika orang dewasa yang melakukannya jelas kemungkinan besar penyimpangan seksual. Pengalaman atau kejadian buruk di masa lalu bisa mempengaruhi perilaku orang saat ini.

BACA JUGA :   Wakil Walikota Jakbar Buka Gebyar Budaya Betawi Di Hutan Kota Srenseng

“Bisa juga dilihat dari pengaruh lingkungan. Lingkungan secara psikologis seperti apa yang bisa mempengaruhi perilaku orang? Kalau mereka punya ayah dan ibu, apakah hubungan orangtuanya harmonis? dan lain sebagainya. Itu semua harus dikaji lebih dalam,” bebernya.

Dia juga mengkritik sikap seorang oknum guru yang mengetahui kejadian tersebut. Alih-alih ingin menyelesaikan masalah, sikap oknum tersebut yang meminta korban untuk tutup mulut malah menambah masalah lebih besar.

“Guru sekolah tersebut sangat salah karena penggiringan opini dengan membalikan fakta, dan kita tahu bahwa pelakunya anak-anak,” katanya.

Secara terpisah, Ketua Asosiasi Nasional Peduli Anak Indonesia (ANPAI) Jambi, Irwan Hadi Syamsu mengatakan, penyelesaian kasus harus dilihat dari banyak aspek. Sementara yang menjadi korban kekerasan seksual adalah anak dibawah umur, apalagi terjadi di tengah jam pelajaran berlangsung. Maka satuan pendidikan dilarang melakukan tindakan yang mengarah kepada pembiaran.

BACA JUGA :   Warga Lubuk Pusaka Terima Bantuan Sembako dari Dinsos Aceh Utara

“Jelas sekali tindakan guru yang mengancam korban agar tidak melaporkan pelaku adalah pelanggaran terhadap pasal 76E UU No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak,” tegasnya.

Terkait anak sebagai pelaku kekerasan seksual, dia menyebutkan, jika anak telah berusia 12 tahun maka bisa diambil tindakan hukum atas dirinya, tentunya dengan memperhatikan prinsip dalam UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak.

“Masyarakat juga harus melihat kasus ini sebagai PR bersama dengan tidak menghujat pelaku dengan kalimat yang mungkin akan merusak psikologinya dan stigmatisasi negatif “Generasi Rusak” atau semacamnya tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan menjadi labelling yang menimbulkan berbagai masalah lainnya,” ucapnya.

Irwan menegaskan, untuk mengentaskan segala bentuk pelanggaran terhadap hak dan perlindungan anak, maka dinas pendidikan perlu mengadakan percepatan Program Sekolah Ramah Anak pada setiap sekolah agar pendidik dan tenaga kependidikan mengerti dan berkomitmen melindungi hak-hak anak. (Barax)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses