Jakarta — Mantan Menteri Perdagangan RI, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, melawan balik. Tak tinggal diam usai divonis bersalah dalam kasus korupsi impor gula, Tom secara resmi melaporkan tiga hakim yang menjatuhkan vonis tersebut ke Mahkamah Agung (MA), Senin (4/8). Langkah ini menandai babak baru dalam perlawanan hukumnya, meski ia telah menerima abolisi dari Presiden.
Ketiga hakim yang dilaporkan adalah Hakim Ketua Dennie Arsan Fatrika, serta dua hakim anggota, Alfis Setyawan dan Purwanto S Abdullah. Mereka dianggap melanggar prinsip dasar peradilan yang adil.
“Pak Tom ingin ada evaluasi dalam sistem peradilan. Ini bukan tentang balas dendam, tetapi tentang perbaikan sistem agar keadilan bisa dirasakan semua pihak,” ujar Zaid Mushafi, kuasa hukum Tom Lembong, di Gedung MA, Jakarta.
Dituding Langgar Asas Praduga Tak Bersalah
Menurut tim kuasa hukum, selama proses persidangan, salah satu hakim dinilai tidak menjunjung tinggi asas presumption of innocence (praduga tak bersalah), dan justru bersikap seolah-olah Tom sudah pasti bersalah sejak awal.
“Seolah-olah Pak Tom tinggal dicari bukti untuk menjustifikasi vonis. Padahal dalam proses peradilan, itu sangat bertentangan dengan prinsip hukum,” kata Zaid tegas.
Tak hanya ke Mahkamah Agung, tim kuasa hukum juga menyatakan akan membawa laporan serupa ke Komisi Yudisial (KY), Ombudsman RI, dan bahkan BPKP guna memastikan proses hukum tidak menyimpang dari nilai keadilan dan HAM.
Dibebaskan Lewat Abolisi, Tapi Belum Selesai
Tom Lembong resmi dibebaskan dari Rutan Cipinang pada 1 Agustus 2025 sekitar pukul 22.05 WIB, setelah Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Abolisi. Meskipun secara hukum sudah bebas, Tom menegaskan perjalanannya belum usai.
“Pak Tom tidak menganggap abolisi sebagai akhir dari perjuangan hukumnya. Ia tetap berkomitmen untuk memperjuangkan prinsip dan membersihkan namanya,” tambah Zaid.
Latar Kasus: Vonis 4,5 Tahun, Kerugian Negara Rp194 Miliar
Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara kepada Tom Lembong, disertai denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi impor gula kristal mentah pada periode 2015–2016 yang menimbulkan kerugian negara Rp194,72 miliar.
Tom disebut telah menerbitkan surat persetujuan impor kepada sepuluh perusahaan tanpa melalui mekanisme koordinasi lintas kementerian maupun rekomendasi dari Kementerian Perindustrian, yang menjadi dasar tuduhan korupsi.
Abolisi: Hak Presiden, Pertaruhan Moralitas Publik
Abolisi yang diterima Tom Lembong menjadi sorotan tersendiri karena menghapus seluruh proses hukum yang berjalan. Kendati demikian, keputusan ini bukan berarti menghapus catatan hukum yang telah tercetak.
Dalam sistem hukum Indonesia, abolisi adalah hak prerogatif Presiden, namun tetap memerlukan pertimbangan DPR RI. Kendati sah secara hukum, langkah ini tetap menyisakan ruang diskusi tentang akuntabilitas, moralitas, dan dampak politik dari pembebasan seorang terpidana kasus besar.*