JAKARTA — Citra Polres Metro Jakarta Selatan kembali menjadi sorotan publik menyusul dugaan tindakan sewenang-wenang terhadap seorang warga sipil, Siti Nadita Inaya. Perempuan dua anak tersebut nyaris mengalami penjemputan paksa oleh lima penyidik Reskrim tanpa pendampingan hukum di sebuah apartemen kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, pada Kamis (17/7/2025).
Insiden ini disebut sebagai bentuk intimidasi lanjutan setelah peristiwa serupa terjadi di kediaman Siti Nadita di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pada 13 Maret lalu. Tim kuasa hukum dari kantor SHMBNG & Partners mengecam keras tindakan aparat yang dinilai mencederai prinsip due process of law dan melemahkan integritas institusi penegak hukum.
“Penyidik datang membawa surat yang cacat secara hukum. Tidak pernah ada panggilan sah kepada klien kami maupun kepada kami sebagai kuasa hukum. Klien tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka tanpa proses pemeriksaan yang sah dan legal,” tegas Esther Agustina Sihombing, S.H., M.H., kuasa hukum Siti Nadita.
Surat Panggilan Tidak Sampai, Klien Dicap Tak Kooperatif
Menurut penjelasan Esther, surat panggilan dikirim melalui jasa ekspedisi, namun tidak pernah diterima oleh Siti Nadita. Aplikasi pengiriman menunjukkan bahwa surat dikembalikan kepada pengirim. Ironisnya, pihak kepolisian tetap menyatakan kliennya tidak kooperatif.
“Ini sangat janggal. Kami telah menjalin komunikasi dengan penyidik Polres Jaksel dan menyampaikan surat kuasa yang sah. Tapi justru kami tidak dianggap. Kalau begitu, apa arti proses hukum?” ujar Esther.
Pihak kuasa hukum juga menyayangkan sikap manajemen dan keamanan Apartemen Urbantown Serpong yang mengizinkan aparat masuk hingga ke unit pribadi Siti Nadita. Mereka menuding Brigadir Sugi Haryanti, salah satu petugas, melakukan tindakan intimidatif dengan menggedor-gedor pintu dan memutus aliran listrik unit apartemen tanpa prosedur yang jelas.
Laporan Diduga Sarat Kepentingan Pribadi
Kasus yang menimpa Siti Nadita bermula dari laporan seorang perwira polisi berpangkat AKBP bernama M. Rikki Ramadhan T. ke Polres Metro Jakarta Selatan. Dalam laporan tertanggal 8 Januari 2025, pelapor menuduh Siti melakukan pencurian dengan pemberatan di sebuah gudang warisan keluarga. Namun, hanya dua hari setelah pelaporan, surat panggilan langsung dikirimkan kepada Siti.
Tim hukum Siti Nadita menilai tuduhan tersebut tidak berdasar. Bahkan, saat dugaan peristiwa terjadi, Siti dan suaminya tengah berada di rumah sakit dan telah menyerahkan bukti lengkap kepada penyidik.
“Barang-barang yang dipermasalahkan hanyalah baju bekas dan buku lama yang nilainya disebut mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Ini tidak masuk akal dan mencurigakan,” kata Esther.
Ia menambahkan, gudang yang dipermasalahkan berada di pekarangan rumah suami Siti Nadita, dan pelapor tidak pernah tinggal di lokasi tersebut. Kuasa hukum menduga kasus ini merupakan buntut konflik warisan keluarga yang kemudian digiring ke ranah pidana dengan memanfaatkan akses kekuasaan.
Pelanggaran Prosedur atau Penyalahgunaan Wewenang?
Penjemputan paksa yang dilakukan tanpa pemberitahuan resmi kepada kuasa hukum dan tanpa prosedur sah dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap standar operasional dan kode etik kepolisian. Kasus ini dinilai berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
“Ini bukan sekadar kesalahan prosedural. Ini soal moral dan integritas institusi. Polisi seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan alat untuk menyelesaikan konflik pribadi,” ujar Esther.
Sejumlah pengamat hukum turut mengingatkan agar aparat tidak menyalahgunakan kewenangan dalam penanganan kasus privat, apalagi menyangkut sengketa keluarga. Praktik seperti ini, jika tidak dikoreksi, dapat memperlemah legitimasi aparat di mata masyarakat.
Hingga berita ini diturunkan, Polres Metro Jakarta Selatan belum memberikan pernyataan resmi. Redaksi telah mengajukan permintaan konfirmasi, dan akan memperbarui laporan setelah klarifikasi diperoleh.
Sementara itu, tim hukum Siti Nadita berkomitmen untuk menempuh jalur hukum dan melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang ini ke Wasidik Polda Metro Jaya serta Komnas Perempuan.
“Kasus ini akan kami kawal hingga ke tingkat tertinggi. Kami akan melawan segala bentuk kriminalisasi terhadap klien kami,” tegas Esther.
Masyarakat kini menunggu jawaban, apakah institusi penegak hukum siap bertindak adil dan transparan? Atau justru kembali terjebak dalam budaya tutup mulut dan impunitas?*