Surabaya – Seorang Pria berinisial LH yang diketahui merupakan suami dari pengacara Lisa Rahmat yang sempat viral dan dikenal sebagai pengacara Ronald Tannur lalu, diduga telah menguasai rumah milik orang lain secara sepihak. Tak hanya itu, pemilik rumah yang merupakan seorang nenek bernama Fransiska Eny Marwati alias Soeskah Eny Marwati, justru dilaporkan dan didakwa melakukan pemalsuan surat.
Kasus ini mencuat ke publik setelah Fransiska duduk sebagai terdakwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Ia didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas dugaan menggunakan surat palsu sebagai dasar permohonan kasasi.
Sidang lanjutan digelar pada Selasa (18/6/2025) di Ruang Sidang Sari 2 PN Surabaya, dengan agenda pembacaan tanggapan JPU atas eksepsi terdakwa. Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Purnomo Hardiyarto.
Dalam persidangan, JPU Basuki Miryawan menyatakan bahwa dugaan pemalsuan surat terjadi antara Desember 1999 hingga Januari 2000. Meskipun kejadian tersebut sudah lebih dari dua dekade silam, laporan baru diajukan ke Polda Jatim pada Januari 2017, sehingga secara hukum perkara ini dinilai belum kedaluwarsa.
“Hal ini merujuk pada Yurisprudensi Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 261/Pid/2014/PT.Bdg jo. Putusan MA No. 825 K/Pid/2014, di mana kedaluwarsa dihitung sejak surat palsu diketahui dan digunakan,” ujar Basuki di hadapan majelis hakim.
Awal Masalah dari Rumah yang Akan Dijual
Permasalahan bermula dari rumah milik Fransiska yang berlokasi di Jalan Kendalsari Selatan II, Kelurahan Penjaringan Sari, Kecamatan Rungkut, Surabaya. Rumah tersebut rencananya akan dijual kepada.LH (Linggo Hadiprayitno). Namun, sebelum transaksi terjadi, Linggo meminta agar ia dan istrinya, Lisa Rachmat, diperbolehkan tinggal di rumah itu lebih dahulu, dengan alasan kontrakan mereka telah habis.
Permintaan itu disetujui Fransiska. Namun, dalam perjalanannya, Linggo enggan meninggalkan rumah tersebut. Bahkan pada tahun 1995, ia mengajukan gugatan perdata terhadap Fransiska di PN Surabaya. Gugatan itu akhirnya dimenangkan oleh Fransiska sebagai pemilik sah.
Namun, Linggo mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya dan dikabulkan pada 16 Mei 1997 melalui putusan Nomor 729/PDT/1996/PT.SBY. Karena Fransiska sudah tidak tinggal di rumah tersebut, salinan putusan banding dikabarkan hanya diserahkan ke kantor kelurahan.
Fransiska baru mengetahui keberadaan surat putusan itu beberapa waktu kemudian. Karena merasa tidak pernah menerima salinan resmi putusan banding, pada tahun 1999 ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung melalui kuasa hukumnya saat itu, Sudiman Sidabukke. Ia melampirkan surat keterangan dari Kelurahan Ngagelrejo yang menyatakan bahwa ia belum menerima salinan putusan karena telah pindah alamat.
Surat keterangan itu bernomor 181/7704/402.09.01.02.04/99, dan dijadikan dasar pengajuan kasasi ke MA meski telah melewati tenggat waktu.
Kasasi Dikabulkan, Muncul Laporan Baru
Pada 4 Juli 2003, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Fransiska melalui putusan No. 2791 K/Pdt/2000 dan membatalkan putusan banding yang sebelumnya memenangkan Linggo.
Namun, setelah kasasi dimenangkan dan berkekuatan hukum tetap (inkracht), Linggo justru mempersoalkan surat keterangan kelurahan yang digunakan Fransiska dalam pengajuan kasasi. Ia melaporkan Fransiska ke Polda Jatim, dengan tuduhan telah menggunakan surat palsu. Akibat laporan ini, Fransiska dijerat dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP tentang pemalsuan surat, yang ancaman hukumannya maksimal enam tahun penjara.
“Perbuatan terdakwa telah menyebabkan kerugian hukum yang nyata bagi korban,” ucap jaksa dalam persidangan.
Kuasa Hukum: Kasus Sudah Kedaluwarsa
Kuasa hukum Fransiska, Boyamin Saiman dan Aris Eko Prasetyo, menilai bahwa kasus yang menjerat kliennya seharusnya sudah kedaluwarsa. Boyamin meminta agar majelis hakim membuka kontra memori kasasi dari perkara No. 2791 K/Pdt/2000 jo. No. 729/PDT/1996/PT.SBY jo. No. 584/Pdt.G/1994/PN.Sby.
Menurut Boyamin, dalam kontra memori tersebut, sudah jelas bahwa pelapor mengetahui keberadaan surat keterangan dari kelurahan sejak tahun 1999. Karena itu, jika memang surat itu dianggap palsu, seharusnya ada pembanding yang bisa dibuktikan secara forensik.
“Kami tidak keberatan jika masuk ke pokok perkara. Tapi harus ada uji pembanding, apakah surat itu benar-benar palsu atau tidak. Tidak bisa serta-merta surat disebut palsu tanpa uji forensik,” tegas Boyamin, yang juga Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
Senada, Aris Eko Prasetyo menegaskan bahwa tuduhan penggunaan surat palsu itu sudah kedaluwarsa. Pasalnya, surat tersebut digunakan dalam memori kasasi tahun 1999, dan pelapor telah mengetahuinya sejak saat itu. Maka, jika merujuk pada Pasal 78 dan 79 KUHP serta Putusan MK No. 118/PUU-XX/2022, masa kedaluwarsanya telah habis pada tahun 2011.
“Jelas perkara ini telah kedaluwarsa. Dugaan surat palsu digunakan tahun 1999, dan berdasarkan aturan, masa kedaluwarsanya 12 tahun sudah berakhir pada 2011,” pungkas Aris. [By/RudJT]