JAKARTA – Dugaan praktik prostitusi terselubung berkedok spa dan massage kembali menyeruak di Jakarta Utara. Tiga lokasi yang menjadi sorotan publik yakni Vee Massage di kawasan Sunter Icon dan Foxy Spa di Komplek Elang Laut Boulevard, Pantai Indah Kapuk.
Meski aktivitas mencurigakan di tempat-tempat itu sudah lama jadi buah bibir warga, hingga kini belum ada tindakan tegas dari aparat maupun instansi terkait. “Kami sudah lama resah, tapi seperti tidak ada yang berani menutup,” ungkap salah seorang warga Sunter Agung yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Tim investigasi berhasil menemukan sejumlah bukti yang memperkuat dugaan prostitusi terselubung. Mulai dari tangkapan layar percakapan bernuansa seksual, hingga testimoni seorang narasumber yang mengaku sebagai pekerja seks di salah satu spa. “Bukan cuma pijat, ada layanan tambahan sesuai permintaan,” kata sumber tersebut.
Temuan ini mempertegas bahwa ketiga tempat tersebut diduga keras bukan sekadar tempat relaksasi biasa, melainkan praktik ilegal yang dibiarkan tumbuh subur.
Ironisnya, ketika dikonfirmasi, jajaran pejabat terkait memilih bungkam. Kepala Suku Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Jakarta Utara, Shinta Nindyawati, enggan memberi keterangan. Hal serupa dilakukan Anang Hasbullah, Kepala Seksi Pengawasan, yang mengalihkan pembicaraan saat dihubungi. Bahkan, konfirmasi yang dilayangkan ke Sekretaris Dinas Parekraf DKI Jakarta, Helma Dahlia, juga berujung tanpa jawaban.
Sikap diam pejabat publik ini justru menimbulkan tanda tanya besar. Apakah mereka benar-benar tidak mengetahui, tidak peduli, atau ada kepentingan tertentu yang membuat praktik ilegal tersebut dibiarkan berjalan? Publik bahkan patut menduga adanya “beking” dari oknum aparat.
Padahal, payung hukum untuk menindak prostitusi sangat jelas. Selain Perda No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum dan Perda No. 3 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Pelacuran, praktik prostitusi juga dapat dijerat Pasal 298 dan Pasal 506 KUHP dengan ancaman kurungan lebih dari satu tahun.
Namun, semua regulasi itu hanya tinggal deretan pasal jika tidak ada keberanian aparat menegakkannya. Ketidakseriusan ini bukan saja meruntuhkan kewibawaan hukum, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Pengamat kebijakan publik dan akademisi, Awy Eziary, S.H., S.E., M.M., menilai pembiaran semacam ini sangat berbahaya. “Fenomena prostitusi terselubung berkedok spa mencerminkan lemahnya pengawasan dan rendahnya integritas aparatur negara. Jika pejabat terus bungkam, wajar publik menduga ada permainan di belakang layar. Hukum tidak boleh diperdagangkan,” tegas Awy.
Ia menambahkan, pemerintah daerah seharusnya tidak sekadar mengandalkan razia seremonial, melainkan melakukan penindakan tegas yang konsisten. “Masalah ini bukan hanya soal moralitas, tetapi juga menyangkut ketertiban umum, kesehatan masyarakat, dan citra Jakarta sebagai ibu kota negara. Aparat wajib hadir, bukan malah absen,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi aparat penegak hukum dan Pemprov DKI Jakarta. Jika praktik prostitusi berkedok spa terus dibiarkan, pertanyaan besar muncul: Siapa sebenarnya yang bisa diandalkan masyarakat untuk menegakkan hukum di negeri ini?*(ren)
















