JAKARTA – Sebuah papan reklame raksasa tanpa izin berdiri mencolok di dekat Halte Transjakarta Jembatan Gantung, Jalan Raya Daan Mogot KM. 11 No. 38, Kelurahan Kedaung Kaliangke, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Meski jelas-jelas melanggar aturan, hingga kini tidak ada tindakan dari aparat berwenang.
Reklame yang menampilkan iklan produk air mineral tersebut ditengarai tidak memiliki izin konstruksi, berdiri di zona kendali ketat reklame, serta menghindari kewajiban pajak iklan. Kondisi ini bukan hanya mencederai estetika kota, tetapi juga menodai wibawa hukum dan aturan di ibu kota.
Akademisi dan pengamat kebijakan publik, Awy Eziary, S.H., S.E., M.M., mengungkapkan bahwa pembiaran reklame ilegal seperti ini diduga kuat melibatkan kolusi antara pengusaha dan oknum pejabat. Ia menuding adanya praktik “main mata” antara pemilik reklame dan pejabat pajak, perizinan, bahkan Satpol PP.
“Reklame ilegal seperti ini biasanya hanya dibayar pajaknya setelah ramai di media. Tapi yang jadi masalah besar adalah bangunannya sendiri sejak awal tidak pernah mengantongi izin resmi dari pemerintah,” ujar Awy, Kamis (1/5/2025).
Menurutnya, permasalahan ini sudah berlangsung lama dan terjadi di banyak titik di Jakarta Barat, namun laporan masyarakat kerap mandek tanpa tindak lanjut yang jelas.
“Kami sudah laporkan melalui JAKI dan struktur pemerintah daerah, tapi semuanya berhenti di tangan oknum. Ini adalah bukti bahwa sistem kita sedang digerogoti praktik korupsi yang sistemik,” tegas Awy.
Awy mendesak aparat penegak hukum, khususnya Kejaksaan Negeri, untuk segera turun tangan dan membongkar dugaan permainan kotor ini. Ia menilai, pembiaran ini bukan lagi pelanggaran administratif biasa, melainkan indikasi korupsi yang mengakar.
“Kami akan terus mendesak agar laporan-laporan ini tidak berakhir di meja birokrasi, tetapi sampai ke meja penegakan hukum yang berani dan independen,” tambahnya.
Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 100 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Reklame, wilayah ibu kota dibagi dalam zona ketat, sedang, dan khusus. Pada zona ketat seperti yang terdapat di Jalan Raya Daan Mogot, pemasangan reklame tiang tunggal secara tegas dilarang.
Papan reklame juga harus terpasang pada dinding atau atap bangunan dan hanya boleh memuat nama gedung, logo, atau identitas usaha yang beroperasi di lokasi tersebut. Namun yang terjadi, reklame yang kini berdiri justru menyalahi semua ketentuan tersebut, yaitu menggunakan pencahayaan luar (bukan backlighting), melampaui sempadan jalan, dan tidak mencerminkan aktivitas usaha di lokasi.
Kasus serupa tak hanya terjadi di Daan Mogot. Berdasarkan pantauan di lapangan, terdapat reklame ilegal lainnya di Jalan Letjen S. Parman No. 31, tepat di depan bekas Mapolres Jakarta Barat, Slipi, Palmerah dan Jalan Outer Ring Road, Kelurahan Tegal Alur, Kecamatan Kalideres.
Ketiganya diketahui berdiri tanpa izin resmi, menabrak aturan zona reklame, dan kuat dugaan tidak menyetor pajak retribusi ke kas daerah.
Pembiaran terhadap reklame-reklame ilegal ini menciptakan preseden buruk dalam tata kelola kota. Ketika hukum tumpul terhadap pelanggar bermodal besar, publik pantas bertanya: siapa sebenarnya yang mengendalikan wajah Jakarta, pemerintah, atau para pemain bayangan?
Kini bola panas ada di tangan Pemprov DKI Jakarta dan aparat penegak hukum. Apakah mereka akan menunjukkan keberanian menertibkan pelanggaran yang sudah terang-terangan ini? Ataukah justru membiarkan ibu kota tenggelam dalam kompromi dan kepentingan gelap?*