DimensiNews.co.id, JAKARTA- Menggandeng Ditjen Bea dan Cukai untuk mengawasi Impor Bahan Perusak Ozon (BPO), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) menyerahkan 20 unit refrigerant identifier ke Ditjen Bea dan Cukai. Alat Ini merupakan pendeteksi kandungan refrigerant yang fungsinya mengindentifikasi jenis, komposisi, kosentrasi dan kemurnian refrigerant dalam bentuk gas.
Dengan diserahkan alat tersebut, akan membantu petugas bea dan cukai melakukan pengawasan impor Bahan Perusak Ozon (BPO).
“Kami tentu berharap itu dapat membantu petugas Bea dan Cukai melakukan pengawasan masuknya BPO. Serta unit sistem pendingin pada tujuh pelabuhan impor BPO. Dan pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di daerah perbatasan yang berpotensi menjadi pintu masuk penyelundupan BPO dan unit sistem pendingin dengan cepat,” ujar Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK Ruandha Agung Sugardiman di Jakarta, Senin (18/11/2019).
Dia menambahkan selama 27 tahun implementasi Protokol Montreal di Indonesia, sejak tahun 1992 sampai sekarang, Ditjen Bea dan Cukai menjadi salah satu mitra penting KLHK. Ditjen Bea dan Cukai membantu kegiatan pengendalian dan pengawasan impor BPO dan impor AC, lemari pendingin dan lemari beku.
Pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 84 tahun 2015, tentang Ketentuan Impor Barang Berbasis Sistem Pendingin, telah melarang impor produk berbasis sistem pendingin. Seperti AC, lemari pendingin dan lemari beku yang menggunakan Chlorofluorocarbon (CFC) dan Hydrochlorofluorocarbon (HCFC). Itu adalah senyawa kimia yang berpotensi merusak lapisan ozon.
“Saat ini Indonesia sudah melarang penggunaan CFC dan sedang dalam proses menurunkan konsumsi HCFC. Dengan target penurunan konsumsi HCFC sebesar 37,5 persen pada tahun 2020. Atau 151,47 ODP Ton dan 55 persen pada tahun 2023 atau 222,16 ODP Ton. Dihitung dari baseline sebesar 403,92 ODP Ton,” ujar Ruandha.
Menurutnya penurunan konsumsi HCFC dapat dicapai melalui pengendalian impor. Yaitu dengan membatasi dan menurunkan target alokasi impor nasional setiap tahunnya. Dengan adanya pembatasan itu, berpotensi masuknya BPO secara ilegal.
“Berdasarkan hasil studi interpol dan UNEP, refrigerant CFC dan HCFC banyak diselundupkan dengan berbagai modus. Seperti menggunakan tabung refrigerant Hydrofluorocarbon (HFC) yang belum diatur tata niaga impornya. Penggunaan pos tarif yang berbeda atau masuk melalui pelabuhan tidak resmi,” jelas Ruandha.
Lebih lanjut dia mengatakan, selain menyerahkan alat, pihaknya juga sekaligus memberikan pelatihan bagaimana menggunakan alat tersebut.
Sementara itu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi mengatakan pihaknya menerima dua hal penting dari Ditjen PPI KLHK.
“Pertama alat, ada 20 alat pendeteksi bahan perusak ozon. Yang kedua, sekaligus pelatihan menggunakan alat tersebut. Ini kita perlukan sekali untuk menjalankan fungsi Bea Cukai. Satu sisi kita perlu memperlancar barang dan juga pengawasan barang yang masuk aman. Tidak berbahaya. Pengawasan barang berbahaya, selain butuh pengawas yang ahli, juga perlu alat. Dengan adanya alat ini ,lebih cepat. Keluar print out hasilnya. Tidak perlu ke lab atau tanya dulu. Kalau tidak sesuai ketentuan, tidak bisa impor,” ujarnya.
“Dulu kita percaya dengan label dan dokumen. Sekarang dengan adanya alat ini, importir tidak bisa lagi mengelabui petugas,” tambahnya.
Hal itu kata dia bisa membantu untuk pengurangan kerusakan ozon. Alat tersebut akan ditempatkan di seluruh Indonesia. Seperti di Pelabuhan Tanjung Perak, Tanjung Priok, juga diperbatasan seperti Nunukan, Entikong, Atambua dan sebagainya. Alat ini, tambahan alat yang sebelumnya kita terima. (Danang)