PILKADA serentak 2018 akan dilangsungkan dalam beberapa bulan kedepan. Sebagai ruang etalase kedaulatan, kontestasi ini akan menampilkan banyak adegan untuk membentuk opini pemilih, menimbang dan menentukan siapakah yang dianggap layak memperjuangan kepentingan rakyat untuk 5 tahun kedepan, demikian juga bagi Maluku Utara.
Hal menarik adalah, bahwa pilkada serentak kali ini akan menjadi batu uji demokrasi. Momentum pilkada menjadi medium rotasi kepemimpinan politik daerah yang berkorelasi dengan penimbunan statistik dalam mengukur basis sosial dan politik pada pilpres 2019.
Siapa bermain apa, dengan siapa, dan dalam peran apa, akan terus mewarnai kontestasi ini. Dilain sisi, kolaborasi elit partai di tingkat nasional berimplikasi pada rekomendasi partai untuk figur Kepala daerah di tingkat lokal. Ada semacam gap ideologis partai untuk terus mengukur kekuatan koalisi di skala daerah dengan dilaksanakannya sekitar 171 Pilkada serentak seluruh Indonesia.
Demokrasi dan Demagog
Wacana demokrasi lahir sebagai wujud merepresentasikan berdaulatnya rakyat melalui desain-desain institusi. Demokrasi yang kuat bersumber pada kehendak rakyat dan bertujuan untuk mencapai kebaikan atau kemaslahatan bersama.
Oleh karena itu, demokrasi mesti berkaitan dengan persoalan perwakilan kehendak rakyat itu sendiri (Mochtar Mas’oed;1999).
Jika kita bebicara tentang demokrasi, sesungguhnya pada tahapan itu ada sebuah visi yang sedang kita perjuangkan.
Visi ini, dalam konteksnya dengan pilkada tentu sedang dimainkan dengan penuh gairah oleh kontestan politik. Oleh karena itu, visi menyangkut dengan road map pembangunan Maluku Utara, tentu harus aplikatif dan kredibel dengan alinea sejarah daerah ini.
Pada prinsipnya, ruang demokrasi membuka peluang yang sangat besar untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebab, demokrasi ditandai dengan corak pengangkatan kepemimpinan yang terpelihara melalui mekanisme yang lahir dari partisipasi aktif rakyat sebagai konstituen.
Dari situlah sebenarnya, oleh kelompok yang memahami betul esensi kedaulatan rakyat akan terus bersuara lantang mengenai kesejahteraan ekonomi, sosial dan politik. Mengutip Amartya Sen peraih nobel ekonomi asal india, “bahwa salah satu cara yang melaluinya demokrasi bisa memperkaya kehidupan rakyat adalah dia memiliki perangkat nilai penting yang karenanya, rakyat dapat mengekspresikan tuntutan mereka dalam keputusan politik maupun ekonomi”.
Pada kontestasi Pilkada kali ini, semestinya ukuran rakyat dalam menentukan pilihan tidak serta-merta tersalurkan tanpa ada verifikasi/penalaran yang kritis. Memang benar adanya, segala sistem pengangkatan kepemimpinan yang dipraktekan di dunia ini mengalami kelebihan dan kekurangan, layaknya demokrasi.
Pada ruang demokrasi, tidak ada pilah-memilah status pendidikan, usia, kemapanan intelektual dst. Rakyat diberikan hak suara yang sama untuk memilih figur yang dianggap mampu, sehingga hal ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjadi pintu masuk bagi terpeliharanya praktek demagog.
Secara harfiah, Demagog adalah sebuah istilah–yang telah ada sejak zaman Yunani Kuno–untuk menyebut sekumpulan orang-orang yang berpikir dan bertindak culas dan licik, lebih mementingkan diri sendiri, menebar pesona dengan pencitraan (kamuflase), berkoar atas nama kebenaran, namun seringkali memanipulasi kebenaran dengan opini dan wacana.
Demagog adalah agitator (penghasut) yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih, tapi kalau sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat; bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatasnamakan rakyat untuk mengeruk keuntungan.
Ada yang beraliansi sambil berteriak mau menyelamatkan bangsa dari disintegrasi tetapi tingkah lakunya sangat destruktif bagi keselamatan bangsa dan negara. Ada yang berteriak mau memberantas korupsi, padahal dirinya disinyalir sebagai koruptor yang dengan licik dan licin membobol keuangan negara.
Banyak juga tokoh partai yang berpidato berapi-api, jika partainya menang dalam pemilu dan menguasai kursi parlemen, maka negara akan makmur, rakyat sejahtera. Padahal banyak yang tahu pemidato itu selalu melakukan perselingkuhan politik dan mencampakkan idealisme partainya untuk kepentingan pribadinya. Seperti itulah tingkah laku demagog yang oleh Aristoteles disebut sebagai ancaman berbahaya bagi demokrasi (Mahfud: 1997).
Partai politik adalah salah satu elemen vital guna membentuk kualitas demokrasi yang mapan. Tak ada demokrasi yang benar-benar baik, tanpa dibangun oleh partai politik yang dapat menjadi patron demokrasi. Namun celakanya, perilaku demagog kian bersumber dari kepentingan partai.
Hingga memunculkan banyak demagog yang terus mengkampanyekan kepentingan rakyat, berjuang demi kemaslahatan rakyat, tetapi pada akhirnya merusak subsistem demokrasi. Selanjutnya, muncul informasi yang tersebar di media sosial yang semakin memanaskan suasana menjelang pilkada, akan sangat banyak hoax dan playing victim antar kelompok untuk mendapatkan empati masyarakat.
Hal ini dilakukan, bisa saja melalui mesin-mesin partai yang tidak bertanggungjawab/kelompok tim sukses kandidat tertentu. Bencana semacam ini akan terus berlanjut jika masyarakat sebagai konstituen tidak mampu mengamati dan berfikir secara matang untuk menyalurkan pilihan politik.
Pada akhirnya rakyat juga dituntut harus menaruh perhatian secara serius pada partai politik. Sebab Partai politik ikut gagal membentuk visi konektivitas perjuangan pendidikan politik untuk masyarakat, sehingga menambah semraut pelaksanaan demokrasi demi keberpihakan rakyat. Mesin partai tidak bekerja lebih efektif untuk menopang keberlanjutan esensi pendidikan politik untuk demokrasi yang bermartabat.
Oleh karena itu, pilkada serentak 2018 harus benar-benar kita sambut dengan lebih waras untuk sebuah proses belajar menjadi rakyat yang proaktif dan produktif terlibat mengkampanyekan pilkada berkualitas dan bermartabat untuk kemajuan daerah dan Indonesia pada umumnya.
Akhirnya, Pemilu semata-mata bukan hanya untuk memilih yang terbaik berdasarkan statistik. Namun jauh lebih penting dari itu, memilih guna mencegah yang terburuk untuk dapat terpilih. Semoga. (*)
Penulis: Suyono Sahmil | Alumnus Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
Tulisan ini telah diterbitkan oleh babari.co pada January 16, 2018 dengan judul: Pilkada 2018; Siapa Memilih Siapa?